A Cup Of Latte

By mayasithaarifin.blogspot.com - Selasa, September 26, 2017

Secangkir Latte dan kamu, serta hal lainnya yang biasa saja.

Coffeshop itu Litya temukan secara  tidak sengaja sepulang dia jogging sore hari. Cahaya lampunya remang-remang, suasana terlihat hangat, tempatnya tidak terlalu besar, hanya ada beberapa kursi disana dan segelintir orang yang duduk, mereka sedang membaca buku dan ada  terpaku di depan laptopnya masing-masing, ditemani secangkir kopi.

Hal pertama yang terlintas di kepalanya adalah “Oh” kemudian lewat begitu saja. Hingga suatu malam di hari dimana dia patah hati, dia memutuskan untuk singgah di coffeshops tersebut, Tukang Kopi, begitu yang tertulis pada plang yang menggantung di depan toko.

“Mau pesen apa, Kak?” Sapa Barista yang berjaga di sana. Litya mengambil buku menu dan membolak-balikkan halamannya. Dia belum pernah minum kopi sebelumnya, terkesan pahit dan tua, pikirnya. Dia membenarkan tata letak poninya yang tidak berantakan.

“Mmm… yang enak apa?” Tanyanya ragu.

“Semua enak kok, Kak!”

“Menurutmu?”

“Apa ya?” Si Barista tersenyum bingung.

“Aku nurut kamu deh!”

‘Hahaha, OK” Sebenarnya si Barista sedikit bingung akan buat apa. Litya mengambil duduk tepat di depan bar sambil menatap si Barista. Si Barista terlihat kikuk Litya perhatikan, tapi Litya tidak peduli, dia bahkan tidak benar-benar memperhatikan si Barista, tatapannya kosong dan entah imajinya sedang ada dimana. Litya memangku tangannya sambil memainkan jari-jarinya di atas meja. Dia teringat mantan. Dia hanya sedang rindu kencan.

Kapan terakhir kali dia kencan? Terakhir bahkan tidak bisa dia bilang bahwa itu adalah kencan. Tepatnya dua minggu lalu saat Riki menghubunginya, mengajak dia ketemuan dia suatu restaurant cepat saji di Mall di pusat kota Denpasar. Ragu-ragu dia membaca pesan Riki.

Riki, mantan dia sewaktu SMA dulu yang dia tidak benar-benar tahu alasan mereka putus saat itu apa. Tiba-tiba saja dia sudah disibukkan kuliah, Riki pun juga sama. Dan tiba-tiba saja mereka sudah memiliki pacar baru, lalu putus dengan pacar-pacar mereka dan semua berjalan begitu saja.

Tidak ada yang berubah dari Riki, dia tetap  keren seperti saat SMA dulu dan Litya tetap menjadi anak biasa saja, dari dulu memang begitu. Litya hanya begitu yakin mereka jadian sebagai pacar ga lebih karena dia bisa Riki manfaatkan untuk mengerjakan PR-nya atau sumber contekan saat ulangan. Selebihnya tidak ada, tidak ada  rasa untuk Litya. Litya hanya naksir sendirian dan Riki memanfaatkan.

“Kamu mau pesen apa?” Tanya Riki sambil menyodorkan buku menu ke Litya.

“Kamu pesen apa? Aku sama!” Kata Litya singkat. Dia hanya bingung dan bertanya-tanya, apa masih ada rasa yang tersisa untuk Riki di hatinya?.

Riki mulai membuka percakapan yang Litya tidak yakin dia benar-benar memperhatikan, dia sibuk meraba-raba rasa di hatinya.  Dia hanya meresponnya dengan mengangguk dan tertawa kecil seperlunya. Kenapa semua terasa basi dan Litya merasa jengah?.

Dari dulu masih sama, yang Riki bicarakan pasti tentang dirinya, hidupnya yang begitu kaya dan dia yang begitu keren. Semua masih sama, Riki selalu membicarakan tentang bisnis ayahnya yang semakin maju dan dia yang masih suka membantu pekerjaan ayahnya, bahkan dia bercerita dia berhenti kuliah di semester pertama karena merasa kuliah dan gelar tidak berguna bagi hidupnya.

“Iyalah, Lit. Kamu kuliah buat apa?”

“Buat dapet ijazah mungkin. Kerja?’ Jawab Litya asal.

“Aku ga perlu cari kerja seperti kamu yang memerlukan ijazah. Aku hanya tinggal melanjutkan bisnis ayahku saja. Benar kan?”

“Oh. Mungkin Iyah!” Jawab Litya sekenanya.

“Aku juga males kerja sama orang. Aku maunya aku yang memperkerjakan orang!. Bener ga?”

“Iyah, kamu benar” Jawab Litya lagi sambil menyendokkan makanan ke mulutnya. Litya hanya berpikir untuk membenarkan saja semua yang Riki katakan agar semua berjalan cepat. Dia ingin lekas kembali ke rumah dan menyelesaikan laporan kantor yang musti dia kumpulkan akhir pekan ini, yang sebenarnya untuk Litya dia hanya butuh setengah jam untuk menyelesaikan semuanya. Kalaupun dia kerjaan saat sudah dekat deadlinepun bisa. Dia hanya sedang bosan duduk dengan Riki.

“Kamu masih gitu-gitu aja yah, Lit!” Litya menaruh sendoknya dan meminum minumannya. Lalu menatap Riki serius. Terdengar sesuatu yang menganggu di pertanyaan itu.

“Gitu-gitu bagaimana?” Tanya Litya serius.

“Seharusnya kamu merubah penampilanmu!’’ Jawab Riki santai. Seketika Litya sadar. Tidak ada rasa yang tersisa di hatinya untuk Riki. Riki yang dulu begitu dia puja dan dia banggakan, karena bisa berpacaran dengan cowo paling keren seantero sekolah dia dulu. Yang dirasakan dia kini, dia sadar dia dulu bodoh, kenapa bisa suka dengan Riki yang dari dulu Litya tahu bahwa dia begitu arogan sebagai cowo.

Selanjutnya Riki berbicara banyak tentang pendapatnya masalah berat badan yang cocok sesuai tinggi badannya yang hanya seratus limapuluh lima, Litya sedikit curvy, tentang baju yang Litya pakai terlalu formal, make up Litya yang terlalu minimalis, tata rambut Litya yang seperti Dora The Explorer, atau kacamata yang seharusnya dia ganti dengan softlen misalnya. Semua itu membuat Litya jengah. Riki bahkan ga tahu, bahwa sebelum berangkat tadi dia sudah berdandan mati-matian, seperti hati-hati saat menggenakan ayeliner dan lipstick agar tidak belepotan, memilih baju paling feminim dan manis yang ada di tumpukan baju lemarinya, terus berkaca lama-lama dan menanyakan kepada Bunda bagaimana penampilannya. Bunda bilang “Kamu OK kok!” Dan kini Riki sedang mengkritik penampilannya yang seolah-olah masih cupu dan ga OK?.

“Rik, kamu tahu sesuatu?’’

“Apa?” Riki sedikit kaget Litya tiba-tiba memustuskan pembicaraannya.

“Aku ga mau terlihat cantik tapi otakku bodo’’ Tegas Litya kemudian melambaikan tangannya memanggil waitress meminta bill. Litya mengambil uang dan membayar semua tagihan beserta tipnya, lalu beranjak pergi meninggalkan Riki.

”Lit, Lit, kok kamu gitu sih?” Kata Riki bingung. Dan kejadian itu cukup membuat Litya kesal selama berminggu-minggu.

Setelah kejadian itu, Riki bahkan tidak pernah memhubunginya lagi. Dia hanya menjadi yang pertama melihat insta stories Litya di akun Instagramnya. Dan Litya tidak peduli, dia alergi type cowo seperti Riki: ganteng, keren, kaya, tapi sombong dan otaknya sungguh, aarrgghhhh.

“IIIHHHH KESEL” Kata Litya histeris sambil mengetuk cangkir kopinya gemas, dan kopipun tumpah ke meja. Seketika semua pengunjung yang hanya empat orang di tempat itu menoleh ke arahnya. Si Barista yang ada di depannya cukup kaget.

Kemudian seorang cowo setinggi seratus delapan puluh enam centi meter dengan tubuh altetis menggunakan sepatu running datang menghampiri si Barista. Sepertinya dia baru saja selesai olah raga.

“Ada apa, Kris?’’ Si Barista yang bernama Kris itu bingung mau menjawab apa sambil memberi kode ke arah Litya.yang sedang menutupi mukanya dengan tangan. Dia terlihat kacau.

“Ada yang bisa dibantu, Kak?’ Tegur cowo itu.  Litya mendongak kepalanya dan melihat cowo di depannya. Dia seperti ga asing. Litya sempat lihat mungkin saat dia sedang jogging kemaren, kemarennya lagi, atau bahkan sore tadi mereka ga sengaja berpapasan. Litya bingung dan kikuk.

“A, a, a, ga ada” Jawabnya gagap. “Ini kopinya apa yah?’ Lanjutnya kikuk.

“Latte” Jawab Kris. Si cowo itu mengambil kain dan melap tumpahan kopi di atas meja Litya yang tepat menempel dengan meja bar. Litya menggigit bibir bawahnya, sungkan.

“Maaf ya” Sesalnya. Cowo itu tersenyum ramah dan menjawab “Iyah, ga apa!”.

Litya mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Dan ternyata Litya baru sadar ada rak rak buku yang menempel di tembok coffeshop tersebut.

“Buku siapa?” Tanyanya.

“Oh, buku saya!” Jawab itu cowo masih mengelap tumpahan kopi Litya.

“Aku juga punya banyak  di rumah. Tapi novel”

“Iyah di sini juga sama, kebanyakan novel juga” Kemudian cowo itu kembali ke belakang bar menaruh lap. Litya masih memandang rak-rak buku di dinding toko.

“Kamu baca 1Q84 Murakami?”

“Hahaha, iyah. Suka Murakami juga?’’ Litya menoleh ke arahnya lalu mengangguk mantap.

“Surealisme!” Jawab Litya sambil tersenyum.

“Kafka juga dong?”

“Iyah, aku suka Little Fabelnya”

“Gregor Samsa?

“The Metamorphosis”

“Kecoa”

“Novel dia yang Kafka juga ada”

“Iyah, aku suka itu, Kafka On The Shore” Dan semua terasa lebur. Cowo itu menyodorkan tangan kanannya ke arah Litya. Litya menyambutnya.

“Litya” Kata Litya.

“Bara” Katanya penuh senyum. Diam-diam Bara sudah menunggu momen ini sejak lama. Sejak Bara suka melihat Litya sedang baca buku di kursi pojok Lapangan Renon, atau Litya yang suka jogging di sana hampir tiap sore. Dia ingin menyapa, tapi Litya terlihat begitu dingin dan sendiri. Dan kini  dia menyalami tangan Litya. Selanjutnya suasana terasa akrab dan hangat.


Litya merasa percakapan dengan Bara ditemanin dengan Latte yang Kris ganti, membuat Litya menjadi yang biasa saja sebagai seorang yang biasa saja. Kini kopi bagi Litya tidak lterasa pahit dan terlalu tua lagi, ada rasa gurih di sana, sesuatu yang creamy saat dia sesap. Mungkin karena ada Bara salah satunya yang membuat dia suka saat ini.

  • Share:

You Might Also Like

7 komentar

  1. Ok Lita dua minggu bentrok dengan Riki dan akhirnya menemukan Bara pria yg tak asing di jiging tp malu menyapa, entahlah bisa semudah itu melupakan Rifki atau emang pd dasarnya emang tak suka Riki

    BalasHapus
  2. Aku mau dong ikutan minum kopinya hehe

    BalasHapus
  3. bagus ceritanya, tapi agak aneh ya sama kata inih “Iyalah, Lit. Kamu kuliah buat apa?” huahaha :D

    BalasHapus
  4. Hahaha udahlah abisin aja cowo macem riki itu! Litya masih manis tuh, untung bkn ke aku ya. Kalo ke aku hemm udah kopi kalo ga garpu udah nangkring di mukanya si cowo haha

    BalasHapus
  5. Kurang ajar emang kalo ada cowok yang mengkritik penampilan. Semua perempuan pasti selalu berusaha berpenampilan menarik.

    Tapi entah kenapa ku pun tak suka dengan sikap riki yang selalu menceritakan hal tentang dirinya.. membosankan.

    BalasHapus
  6. Wqwq. Dimanfaatin. Ini cerpen ada curhatan terselubungnya, ya? :p

    Pinjem buku Murakami-nya, dong. Baru baca yang Norwegian Wood sama kumpulan cerpennya aja. :( Dan Metamorfosis pun cuma punya e-book, bahasa Inggris pula. Pusing bacanya sebab belum mahir dan lancar. Belum ada lagi buku terjemahan yang tersedia di toko buku. Pfft.

    BalasHapus
  7. Wah, baru yang kedua flow-nya langsung jauh lebih ngalir daripada yang pertama (Star Cluster). Sip!! :)

    BalasHapus