Kamu sesuatu yang asing dan begitu familiar dan kita tidak membutuhkan alasan apapun.
Sudah
beberapa hari ini Angga tidak mengajaknya bicara. Ketika bertemupun di sekolah
Angga selalu menghindar. Megi, teman sebangkunya mulai jengah karena harus
berkali-kali menyoleknya, memberi kode kalau guru mulai curiga dia sedang
melamun tidak memperhatikan penjelasan di depan, memutar-mutar pulpennya dan menatap
kosong ke luar jendela, ke langit yang kosong tanpa awan cumulus, hanya biru
langit dan burung yang jarang berseliweran, mungkin sesekali setelah itu tak
ada lagi. Yang memenuhi pikirannya hanya ada Angga.
Hubungannya
dengan Angga sudah berjalan hampir enam tahun, dari mereka masuk SMP dulu di
sekolah yang sama namun beda kelas, sekarangpun masih, selain beda jurusan.
Angga di jurusan pariwisata dan dia di teknik informatika. Mereka hampir tidak pernah
bertengkar hebat selama ini, semua berjalan baik-baik saja. Dan sekarang, Angga tiba-tiba mendiaminya,
bahkan menghindarinya.
Saat
jam istirahat tiba dia melengos menuju perpustakaan. Tidak ada siapapun disana kecuali
Wildan yang sedang duduk di pojok ruangan dan Buk Wirda, penjaga perpustakaan.
Wildan
teman sekelasnya, sejak kelas sepuluh malah, si juara kelas dan introvert yang
jarang bicara. Siapa pacarnya, masih misteri. Tak ada yang tahu, menurut gossip yang beredar, pacarnya anak sekolah
lain.
Yaiyalah,
siapa yang ngga mau sama Wildan? Ga begitu ganteng sih, keren iya, kaya iya,
pinter juga iya. Hanya dia yang ngga mau sama Wildan, dia hanya mau Angga dan
sekarang Angga mendiaminya.
“Wil?”
Wildan mendongakkan kepalanya kea rah Lina. Lina mengambil duduk di depannya.
“Ada
apa?” Tanya Wildan. Lina mengambil buku yang sedang dibacanya. Wildan
mengerutkan keningnya. Itu bukan hal yang sopan. Tapi sejak kapan Lina sopan? Selain
dia sombong, misalnya.
“Ga
da” Jawab Lina sambil membolak-balik halaman buku yang dia rebut dari Wildan. “Kenapa
kamu selalu ke perpus? Aku perhatikan kamu jarang ke Kantin. Mungkin iya, tapi
hanya sebentar lalu kamu ke sini?” Lanjut Lina.
“Apa
urusanmu?” Jawab Wildan yang masih kesal dengan ketidaksopanan Lina yang
tiba-tiba merebut buku yang sedang dia baca.
“Kenapa
kamu baca Taschen?” Tanya Lina lagi. Dia bahkan ngga peduli dengan kekesalan Wildan
terhadapnya. Wildan merebut bukunya kembali dari Lina saat Lina sedang asyik
membolak-balik halaman.
“Tahu
apa kamu?” Lina menatapnya biasa saja, dia mengangkat bahunya, seolah-olah itu
adalah jawaban pertanyaan Wildan. Lalu dia
beranjak dari duduknya dan pergi meninggalkan Wildan sendirian lagi.
Wildan
hanya menatap punggung Lina yang kemudian menghilang dari balik pintu. Dia heran,
mimpi apa Lina tiba-tiba menghampirinya di perpustakaan hanya untuk iseng
mengganggu dia sebentar?.
Keesokan
harinya masih sama, Lina datang lagi menghampirinya, hingga esoknya lagi dan
esoknya lagi, kadang hanya duduk di depannya dengan diam dan sibuk memainkan
henponnya, lalu pergi tanpa kata. Dan ini cukup membuat Wildan terbiasa.
Sebenarnya kedatangan Lina beberapa hari ini tidak mengganggunya sama sekali
bahkan terasa seperti biasa saja. Karena Wildan selalu melihat Lina setiap
harinya, mungkin. Secara, mereka selalu sekelas dari kelas sepuluh sampai
sekarang, kelas duabelas.
Dan
Lina bahkan tidak mengerti mengapa dia
menghampiri Wildan ke perpustakaan. Sebenarnya dia tidak menghampiri
Wildan. Dia sedang menghindari supaya tidak berpapasan dengan Angga yang sedang
menggantung nasib hubungan mereka. Dia hanya terlalu sakit ketika ngga sengaja
bertemu dan berpapasan dengan Angga, Angga bersikap seolah-olah tidak pernah
ada apa-apa di antara mereka. Maka dari itu dia sengaja ke perpustakaan dan
kebetulan Wildan selalu ada di sana. Mungkin ada beberapa yang lain, tapi yang
dia kenal dengan baik hanya Wildan. Bukan karena selama ini mereka dekat,
tidak, mereka bahkan tidak pernah saling menyapa dan terlibat obrolan yang lama
dan intim, hanya saja terbiasa karena selalu sekelas.
Lina
bukan type cewe populer sekolah, padahal dia termasuk yang tercantik di
kalangan murid perempuan, tapi dia biasa saja. Dia begitu wah tapi bukan berarti
dia type yang down to earth, dia bahkan terkenal sombong, walaupun sebenarnya
dia tidak. Dia type cewe cantik yang jarang berbiacara kecuali dengan
orang-orang yang terbiasa akrab dengannya dan dia menjadi sangat cerewet kalau
sudah akrab. Lina tidak terlalu pintar, dibanding Syifa, dia jauh.
Menurut
Wildan “Tuhan adil. Karena yang cantik tidak terlalu pintar dan yang biasa saja
seperti Syifa, si anak kelas Akutansi, misalnya, malah sangat pintar”. Dan
tidak ada kesan apa-apa lagi tentang Lina, yang dia bahkan tidak peduli sama
sekali.
Tapi
akhir-akhir ini, saat Lina menyapanya dengan pertanyaan yang sama, itu cukup meninggalkan
kesan yang berbeda di pikiran Wildan, dan itu cukup mengganggunya. “Kenapa kamu baca
Taschen?” Wildan selalu menjawab “Kamu tahu apa?” Dan Lina tidak menjawabnya
lagi.
Dan
moment-moment ini terjadi berbulan-bulan hingga akhirnya mereka mulai sibuk
dengan ujian dan tidak pernah bertemu dan duduk berhadapan dalam diam
sepanjang istirahat lagi di perpustakaan. Semua berjalan seperti biasanya.
Hubungan
Lina dan Anggapun tidak ada kemajuan, Lina hanya pasrah, meskipun di pertama-pertama
dia sempat drama dengan mengirim banyak pesan ke Angga, menanyakan ada apa dan
bagaimana kejelasan hubungan mereka, tapi Angga tidak pernah membalasnya, lama-lama
membuat Lina bosan dan kebetulan ujian akhir sekolah sangat membantunya untuk
membuat dia lupa akan patah hatinya terhadap Angga, yang bahkan dia tidak
benar-benar yakin kalau dia patah hati.
Hingga
pengumuman kelulusan dan dirinya diterima di salah satu kampus kejuruan swasta,
Wildan di universitas negri mengambil jurusan arsitek, dan Angga melanjutkan pendidikan di
sekolah tinggi pariwisata, semua berlalu biasa saja tanpa kesan apa-apa. Datar.
Tiba-tiba
di hari acara wisuda, kelulusan sekolah, Angga datang mengahampirinya.
“Lin?”
Sapa Angga. Lina tersenyum tanpa ada rasa di sana. Angga memberinya bucket
bunga. “Selamat ya!” Lina menerima dan “Terima Kasih” Katanya. Ada jeda sejenaknya
setelahnya sebelum akhirnya Angga mengucapkan kata-kata yang cukup membuat Lina
tersenyum lucu dan sadar akan sesuatu.
“Mmmm….
Satu semester ini aku nanya, aku dan kamu bagaimana?” Angga diam sejenak,
memikirkan kata-kata yang pas. “Aku cuma nanya ke diri aku sendiri, aku sayang
kamu atau ga?” Lalu jeda lagi “Kita udah lama banget ya pacaran?!”
“Oh,
kita masih?” Tanya Lina meyakinkan.
“Ya!
emang kapan kita putus?” Jawab Angga.
“Oh” Hanya
itu saja yang keluar dari mulut Lina.
“Aku
bahkan sampai lupa, kita jadian dulu kenapa ya?”
“Sama, aku juga lupa!” Jawab Lina.
“Terus
selama ini aku diemin kamu, aku cuma ngasih waktu ke kita, dan akhirnya aku
jadi tahu, kenapa aku sayang banget sama kamu dan aku pengin kita bisa
sama-sama terus”
“Kenapa?
Bukannya sayang ga butuh alasan?” Tanya Lina. Lalu Angga menjawab “Karena
selama ini aku nyari tahu alesannya apa dan ternyata aku ga nemui celahnya
dimana!” Seketika Lina tersadar. Teringat sesuatu yang membuat dia ga punya
alasan sama sekali suka terhadap seseorang. Lina tertawa, lalu memngembalikan
bucket bunga yang Angga beri dan meninggalkannya. Angga terdiam, ngga ngerti
kenapa Lina meninggalkannya begitu saja.
Lina
menepuk bahu Wildan dari belakang. Wildan menolehkan kepalanya. Dilihatnya Lina
dengan senyum yang sangat sumringah.
“Kamu
kenapa baca Taschen?” Tanya LIna antusias. Wildan menatapnya ngga ngerti.
“Tahu
apa kamu?” Tanya Wildan seperti biasanya, seperti kemarin, sebelum-sebelumnya.
Lina menyolek Megi yang sedang duduk di sebelah Wildan dan memberinya kode
untuk pergi. Megi paham, lalu pergi, memberi kursinya ke Lina. Lina tersenyum
manis kepada Megi, seolah-olah itu adalah ucapan terima kasihnya.
Wildan
masih menatapnya dengan pandangan ngga ngerti.
“Kamu
tahu kenapa?” Tanya Lina. Wildan mengerutkan keningnya, lalu menggeleng.
“Karena
selama ini kamu suka aku dan aku suka kamu!” Jawab Lina tegas. Wildan
tersenyum, menggelengkan kepalanya seolah-olah ngga percaya dengan apa yang
sedang terjadi, dengan apa yang Lina baru saja katakan. “Dan kita ga pernah nyari tahu aja apa alesannya, kita hanya
terbiasa” Wildan malah tertawa dan bilang “Tahu apa kamu?”. Lina tersenyum dan
menjawab “Tahu apa kamu?”. Kemudian mereka menatap ke depan, ke podium di mana Pak Kepala Sekolah sedang berdiri dan akan memberi sambutan. Wildan megenggam tangan tangan Lina di atas pahanya, mereka tersenyum membenarkan
semuanya.
0 komentar