May, kenapa mendaki gunung?
Merawat luka.
Kita semua pernah patah hati kan? Patah hati yang disebabkan banyak hal, yang jelas adalah harapan kita kepada (mantan) pacar tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan. Patah hati adalah luka. Apa yang biasanya kamu lakukan dengan lukamu? Kamu merawatnya kan agar lekas sembuh. Itu yang aku lakukan.
Aku punya teman, dimana kami kebetulan percaya bahwa apa kita adalah harapan dan prasangka kita terhadap Tuhan. Kemarin dia bertanya "May, apa kamu di tahun 2027?". Aku jawab "aku adalah novelist dan beberapa karyaku sudah dijadikan box office, aku punya anak, nganterin anakku sekolah dan suamiku pengusaha". Ga ada yang salah kan dalam berharap, bermimpi. Siapa tahu Tuhan mengabuli. Dia terdiam sejenak dan bertanya lagi "Apa yang kamu yang takutkan sekarang?" aku terdiam kemudian aku jawab "bertemu, terlena, jatuh cinta dan menghabiskan waktu dengan orang yang salah lagi!".
Kayak- kamu lebih baik menjomblo dulu deh, terserah orang-orang mau bully hina jomblomu kayak gimana, kamu sibuk dengan kejombloanmu, itu lebih baik daripada kamu pacaran sama orang yang salah dan ternyata bukan jodoh kamu pula. Itu sakit.
Itu, itu pointnya. Aku sedang ketakutan. Semenjak patah hati pertengahan 2016 lalu dan sempat mengunci diri aku sendiri selama beberapa bulan akhirnya aku memutuskan untuk mencoba mendaki gunung. Aku bukan pendaki kok, cuma 'yang penting pernah aja'. Tujuanku dari awal emang bukan tentang puncak atau sok keren post photo di feed instagram, tapi tujuanku adalah waktu perenungan dalam perjalanan itu sendiri. Me time buat diri aku sendiri.
Mendaki gunung itu cape, cape banget, saking capenya jadi ga sempet mikirin patah hati atau mikirin gebetan lama yang belom kesampaian. Ga sempet mikirin begituan. Hempas.
Ada sesuatu yang kamu dapet dari capenya mendaki, hati yang meledak oleh betapa luar biasanya ciptaan Tuhan. BOOM.
26 Februari 2017
Ini adalah kali keduaku mendaki Batur bersama empat temanku, cowo semua. Pendakian kali ini tidak seantusias pendakian pertama dulu di Januari 2017, mungkin rasa penasaran sudah hilang atau moodku yang emang lagi ga enak. Langkah pertama aku uda sibuk bilang "Aku ga kuat deh, aku nyerah". Keempat temanku memberi semangat "Ayo, pasti bisa May. Jangan nyerah!" Aku mencoba untuk terus berjalan dengan segala moodku yang berantakan. Barang bawaanku dibawakan Dharmadi dari awal perjalan hingga post pertama dan setelahnya dibawakan Yogi hingga puncak-demi agar bebanku ringan. Wawa meng-backup-ku dari belakang dan Yudys dengan gencar dan cerewetnya menyemangatiku sepanjang pendakian. Aku benar-bentar dibikin Tuan Puteri oleh mereka. Kibas rambut manja.
(Guys, aku cuma pengen bilang kalian pahlawan aku. Terima kasih.)
Maka nikmat Tuhan manamukah yang kamu dustakan?
Aku sedang malas menceritakan secara detail bagaimana pendakian kami kemarin. Yang jelas ga sedrama film 5cm kok, lagian ini Batur yang cuma 1717mpdl ga seheboh Mahameru yang tingginya uda 3676mpdl, tapi tetap meninggalkan kesan yang dalam bagi kami berlima. Apa? Rahasia, cukup kami berlima yang senyum-senyum bahagia. Pokoknya gitu dah.
Ah, May ga asyik ah.
Hahaha...
So Guys,
Iyah, seperti halnya yang anak alay lalukan, boleh dong kita sekali-kali nulis di atas kertas ketika sampai di puncak dan mengabadikannya kemudian share di sosial media. Teman-teman sibuk menulis sesuatu untuk pacar, gebetan atau apa mungkin, kayak "Kapan kesini Komang Tri?" atau "(love) Komang Jenny"
"Ahhhh aku juga mau" kataku merebut buku dan pulpen.
"Mau nulis apa sih kamu, May?" Tanya Yudys.
Aku diam. Berpikir lama sekali. Apa ya? Pacar ga punya! Gebetan gatau! Dan tradaaaaaaa...