Kemarin saya sempat pulang kampung selama beberapa hari. Kampung saya selayaknya kampung biasa di wilayah perkotaan di Bali Utara, jalanan gang hanya bisa dilalui satu mobil, kadang hanya motor saja bisa lewat dikarenakan jalanan menjadi sempit oleh parkir motor roda dua di pinggir jalannya. Rumah satu dengan rumah lainnya saling berdempetan, banyak anak-anak sedang bermain memenuhi gang dan ibu-ibu sedang ngobrol dengan ibu-ibu lainnya di depan rumah.
Saya mempunyai keponakan, Dian namanya. Umurnya baru empat tahun dan belum bersekolah. Kegiatannya, layaknya anak-anak kampung biasa; bermain dengan anak lainnya tak peduli hujan atau cerah, kadang bertengkar saling berebut mainan, minta uang buat beli jajan dan sore harinya ramai-ramai pergi mengaji di langgar. Semua berjalan normal tanpa embel-embel gadget, mereka masih punya quality time dengan dunia nyata anak-anak.
Dian seperti halnya saya, sangat cerewet. Dia suka menceritakan banyak hal, cepat mengingat dan cepat lupa, karena yang terpenting baginya adalah keluar bermain. Dian suka sekali berhitung dan bersholawat Nabi. Dian juga suka menceritakan keseruan bermain dengan teman-temannya. Terkadang dia pulang dengan menangis karena kalah bertengkar, selesai menangis mereka tetap bermain bersama kembali. Dan Dian selalu antusias menceritakan perasaannya tentang Sigit.
"Besok, kalau Dian sudah besar Dian mau nikah sama Sigit, Kakak Maya!" Ungkapnya malu-malu.
What? Duh, Nak. Udahlah, kamu mainan aja. Gausah mikirin nikah dulu. Tantemu, 23 tahun belum memikirkan apapun tentang pernikahan. Kamu, empat tahun sudah mikirin mau nikah dengan siapa. Pusing pala Berbie.
"Sigit itu siapa, Dek?" Tanyaku.
"Ada cowo disana. Orangnya jelek tau, masih cantik Dian, Kak Maya!"
Aku menatapnya heran. Eaaaalaahh, anak kecil jaman sekarang canggih. Uda ijo liat mana cakep mana ngga.
"Pokoknya Sigit itu item!" Lanjutnya lagi.
Duh Allah, anak kecil mah ngapain aja jadi lucu. Bahkan untuk hal ngina gebetannya pun jadi lucu. Bocah empat tahun sekarang sudah bisa curhat cinta-cintaan yaaa....
"Dian pengen pacaran sama Sigit, Kak Maya!"
Duh, Nak. Tantemu, 23 tahun masih jomblo. Dan belum tahu ingin pacaran dengan siapa. Ngenes, nak!
"Dian cinta sama Sigit"
Mak, bocah empat tahun ngomongin cinta. Elus dada. Dian kalau sudah bercerita tentang Sigit, eksperesi wajahnya lucu; polos, malu-malu. Mau menyela ceritanya, jadi sungkan. Duh, anak-anak.
***
Suatu hari, entah, Dian ini menjadi bandel tidak seperti biasanya. Enggan pulang meskipun Mamahnya berteriak memohon agar pulang dari atas loteng rumah. Dian mengubris pun tidak. Akhirnya Mamahnya membujuknya dengan 'menjual nama aku'.
"Dian, nakal-nakal nanti ditinggal pergi sama Kak Maya!"
Seketika Dian berlari masuk rumah menghampiri aku yang sedang nonton teve.
"Kak Maya mau kemana?"
"Mau pergi entar malem beli sate di pasar"
"Tante Maya, Dian mau ikut. Entar malem Dian libur ngaji!"
Dia lekas pergi mandi, berdandan dan memakai baju rapi. Dia bilang ke Mamahnya mau ikut aku beli sate di pasar senggol nanti malam. Antusiasnya dia. Dan emang harus diakui bocah empat tahun kalau sedang antusias akan suatu hal lucunya nambah satu tingkat.
Akhirnya kamipun pergi ke pasar senggol untuk beli sate dengan jalan kaki gapake motor. Jarak tempuh antara pasar senggol dan rumah 10 menit sampai. Perjalanan kali ini Dian tidak bertingkah seperti biasanya. Dia keliatan grogi.
"Ih, bakal ngelewatin rumah Sigit tau, Kak Maya"
Ya Allah, Sigit lagi Sigit lagi. Bocah empat tahun sudah kesemsem sama gebetan, tantenya duatiga tahun jangankan kesemsem, gebetanpun belum punya. Entah apa yang dipikirin, konsertrasinya mendaki gunung aja. Naik gunung dulu sebelum naik pelaminan yes.
Sesampainya di depan rumah yang banyak anak-anak kecil main di depannya.
"Mana Sigit?" Tanya Dian tanpa basa-basi.
"Kau Dian, Sigit aja dah yang tanyai!" Jawab salah satu dari mereka. Dian merespon dengan terseyum malu. Ya ampooonn, kelakuan bocah empat tahun masa kini.
"Ga ada Sigitnya!" Kata salah satu bocah laki-laki.
Aku menarik tangannya, mengajaknya ke pasar yang sudah di depan mata, hanya tinggal menyebrang jalan.
Sesampainya di dagang sate.
"Kak May, kesana lagi yuk!"
"Kesana kemana?"
"Ke rumah Sigit. Kali Sigitnya uda dateng"
Garuk tembok. Sigit lagi Sigit lagi. Ini keponakan kesemsemnya bikin baper emang. Sebagai Tante yang baik daripada bengong nunggu sate mateng lebih baik mampir ke rumah Sigit yang emang ga jauh dari pasar senggol. Nyenengin hati keponakan sekali-kali.
"Ada Sigitnya?" Tanyanya lagi.
"Kau ga percaya sekali. Coba kau masuk cari Sigit di dalem. Ada ato ga dia. Biar ga dikira bohong aku" Jawab salah satu anak perempuan disana agak ketus. Dan.... tradaaaaa, dengan pede-nya Dian ini masuk mencari Sigit. Bikin malu.
"Duh, beneran masuk cari Sigit diaa" Keluhku.
"Duh Kak, dia emang penggemar berat Sigit"
"Umur berapa sih Sigit? Seumuran sama Dian? Temen ngaji?"
"Gatau. Sigit kelas enam SD"
What? Sigit kira-kira umur dua belas tahunan dan Dian baru empat tahun. Selisih delapan tahun. Ya ammpooonnn......
Kemudian Dian keluar dengan raut wajah kecewa.
"Ada Sigit?" Tanyaku.
"Ga ada dia, Kakak May" Jawabnya sambil menggeleng.
"Kau sih gapercaya. Sigit pergi main dari tadi naik sepeda" Kata salah satu anak perempuan disana.
Kemudian kami pergi mengambil sate yang tadi kami beli. Bukan beli lebih tepatnya, tapi minta karena penjual sate kebetulan Om kami. Hahaha.
Dan demi menyenangkan hati Dian, kami pulang melewati rumah Sigit. Tolong catat, dalam sekali waktu kami sudah tiga kali mampir ke rumah Sigit, gebetan Dian. Bisa dilihat betapa kesemsemnya dia dengan cowo yang masih belum tahu bentuknya seperti apa. Kami pulang yang seharusnya bisa melewati gang sebagai jalan tembusan, rela melewati jalan besar, memutar arah jalan demi melewati rumah Sigit.
Makin dibikin penasaran sama Sigit ini, bayanganku Sigit ini macam Iqbal saat pertama kali muncul di Boyband Cilik Cowboy Junior; manis, lucu, polos, rambut perponi, menyanyi sambil menari dan memakai kawat gigi. Duh, kok ujung-ujungnya kawat gigi lagi. Skip.
"SIGIT, SIGIT" Teriak Dian senang bukan main.
Aku menoleh, Sigit menoleh kebelakang, tersenyum sambil naik sepeda berboncengan dengan temannya. Aku, Dian dan Sigit saling bersitatap. Sekilas kemudian dia pergi naik sepeda dengan teman-temannya.
Itukah Sigit? Itukah Sigit, Guys? Sigit?
Bocah laki duabelas tahun kelas enam SD, hitam, ga cakep seperti Iqbal Cowboy Jr, tidak berponi, tidak lucu, tidak manis, tidak memakai kawat gigi, halaaahhh ini apalagi? ga tinggi-tinggi banget, standard, OOTD-nya biasa saja, layaknya anak kampung biasanya, ga keren. Pokoknya Sigit ini bocah laki yang biasa-biasa saja sebagaimana anak kampung biasanya.
"Ah itu dia Sigit, Kak May! Pokoknya kalau sudah besar nanti Dian mau menikah dengan Sigit" Ucap Dian antusias.
Waddoooohhh, ampoooonnnn..... aku pengen nyakar tembok ajalah.