Jangan remehin cerita fiksi anak-anak. Sejak jaman dahulu kala sebelum orang menulis, orang bercerita. Cerita-cerita itu dituruni secara turun-menurun sampai ke kita sekarang. Cerita fiksi anak-anak mengajarkan anak untuk berfilosofi dalam imajinasi-imajinasi. Syarat utama cerita fiksi emang dapat mengubah pembacanya. Cerita fiksi membikin kita secara ga sadar memberi prespektif dalam memandang kehidupan dan kemanusiaan. Dari cerita fiksi anak-anak kecil itu dapat mengenal dunia dan mendapat informasi dan mengelolanya menjadi sebuah pengetahuan dan kesadaran. Dari sana mereka mendapat inspirasi.
Bayangin aja, apa yang didapat anak-anak kecil nan bahagia yang masih mencintai semua hal pas dijejeli cerita-cerita siksaan api neraka atau azab-azab Tuhan kalau mereka tidak menjadi manusia patuh?
Bayangin aja, apa yang didapat anak-anak kecil perempuan yang bahagia dan masih mencintai semua hal saat diceritakan bahwa bagian tubuh mereka adalah ancaman bagi kerusakan semesta kalau tidak ditutupi atau disembunyikan?
Jangan heran, pas gede ketemu orang julidan pas kita ga sama dengan standart moralnya. Untuk perempuan, jangan heran pas gede ketemu orang julidan dan bilang kita ”cewe rusak” saat kita pakai baju yang ga nutupi salah satu bagian tubuh kita dan tidak seperti mereka. Imajinasinya penuh dengan imajinasi ketakutan. Kalau kata Yoda-nya Star Wars; Fears is path of the dark side. Fears leads to anger, anger leads to hate, hate leads to suffering. Jangan heran kalau mereka julid mulu, protest mulu, mara-mara terus, karena mereka ketakutan, menderita dan tidak bahagia.
Sekian dari saya si pecinta karya fiksi!
Bayangin aja, apa yang didapat anak-anak kecil nan bahagia yang masih mencintai semua hal pas dijejeli cerita-cerita siksaan api neraka atau azab-azab Tuhan kalau mereka tidak menjadi manusia patuh?
Bayangin aja, apa yang didapat anak-anak kecil perempuan yang bahagia dan masih mencintai semua hal saat diceritakan bahwa bagian tubuh mereka adalah ancaman bagi kerusakan semesta kalau tidak ditutupi atau disembunyikan?
Jangan heran, pas gede ketemu orang julidan pas kita ga sama dengan standart moralnya. Untuk perempuan, jangan heran pas gede ketemu orang julidan dan bilang kita ”cewe rusak” saat kita pakai baju yang ga nutupi salah satu bagian tubuh kita dan tidak seperti mereka. Imajinasinya penuh dengan imajinasi ketakutan. Kalau kata Yoda-nya Star Wars; Fears is path of the dark side. Fears leads to anger, anger leads to hate, hate leads to suffering. Jangan heran kalau mereka julid mulu, protest mulu, mara-mara terus, karena mereka ketakutan, menderita dan tidak bahagia.
Sekian dari saya si pecinta karya fiksi!
Respectfully
Mayasitha
Ibu saya suka mendongengi saya sebelum tidur. Masa kecil saya dipenuhi dengan dongeng-dongeng tapi tidak banyak buku. Saya berpikir, mungkin hal ini adalah salah satu penyebab otak saya tidak berhenti memikirkan hal-hal aneh.
Saya benar-benar tumbuh menjadi anak aneh yang tidak mempunyai banyak teman. Awalnya ini membikin saya membenci diri saya yang aneh ini, yang susah masuk ke sebuah lingkaran pertemanan. Tapi semakin naik kelas semakin terbiasa dan menerima itu semua.
Sekolah menengah pertama, saya masuk ke Islamic boarding school. Seperti halnya pondok pesantren lain yang banyak mengaji, belajar agama, dan tidak semua ustaz/ah suka ditanya-tanya. Hal ini tidak ramah dengan otak saya yang tidak pernah berhenti memikirkan hal-hal aneh. Saya ingat, ketika saya mulai bertanya tentang hal-hal yang tidak saya pahami tentang suatu pelajaran agama, ustaz saya tidak jarang risih dengan pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan. Pernah suatu kali salah satu ustaz membully saya dengan sebutan Bani Israel-hanya karena saya terlalu banyak bertanya dan tidak sabaran. Bully-an itu berdasarkan kisah perjalanan Nabi Musa dengan Nabi Khidir. Bukan rahasia lagi, bagaimana kebanyakan Muslim menstreotypekan Bani Israel ini ke suatu hal negatif dan menjengkelkan. Dan bully-an itu adalah bully-an tertinggi dari kejengkelan ustaz saya. Saya ingat, bagaimana akhirnya kelas menjadi ramai mengolok-olok saya.
Setelah besar, bekerja, dan mulai mampu membeli buku-buku yang tidak murah dan berkesempatan menonton film-film. Ever since, saya mulai menerima dengan sepenuhnya kalau otak saya memang tidak pernah berhenti memikirkan hal-hal aneh. Saya mulai bertemu dengan orang-orang yang similar dengan saya. Saya mulai mempunyai teman dan tidak merasa "salah tempat". Saya mulai tahu festival-festival yang ramah dengan saya yang aneh kalau saya tidak aneh.
_____
Saat mendaftar menjadi volunteer di Minikino Film Week beberapa bulan lalu, kami para calon-volunteer sempat diwawancarai oleh direktur Minikino apa motif kami mendaftarkan diri untuk menjadi volunteer pada festival tersebut. Saya masih ingat jawaban saya waktu itu adalah "karya sastra dan film adalah sesuatu yang saya cintai, mereka membuat saya merasa lebih manusiawi dan menerima "kemanusiaan" itu sebagai mana adanya. Saya adalah pengunjung setia Minikino, dan saya suka sekali dengan prinsip yang diusung minikino setiap kali-sebelum film diputar "kami menyejajarkan film dengan karya sastra"". Mungkin, mereka adalah jawaban atas otak saya yang tidak pernah berhenti memikirkan hal-hal aneh. Ada ungkapan Aristotle yaitu catharsis yang merujuk pada pelepasan diri pada ketegangan. Catharsis adalah proses dimana kita memperoleh pelepasan dari ketegangan emosional yang tidak menyenangkan dengan berbicara tentang sumber ketegangan ini. Kita sering merasa lebih baik setelah kita membicarakan sesuatu yang mengganggu kita. Film dan Sastra dengan catharsis-nya adalah cara untuk membebaskan jiwa dari kegelisahan-kegelisan atas keos dan kaburnya "kemanusiaan". Manusia mencari kembali kemanusiaan yang hilang lewat sastra; bersajak, berprosa, monolog, atau sekedar membaca atau menonton film/cinema. Maka dari itu pada sastra ada istilah Licentia Poetica, yaitu kebebasan atau hak dan wewenang seorang sastrawan dalam berkarya. Jean-Paul Sartre, seorang filsuf eksistensialisme asal Prancis beranggapan bahwa pada masyarakat dengan peradaban modern posisi sastra akan menggantikan agama, dengan pertimbangan bahwa agama dianggap sebagai sesuatu yang kaku, tidak bergerak, tidak lentur dan sulit mengaktualisasikan diri dengan zaman. Dan anggapan ini diiyakan oleh Ludwig Feuerbach, seorang filsuf Jerman yang memberi kritik terhadap kaum beragama: "Hanya orang-orang miskin yang setia pada agama, agar mereka bisa bermimpi dan melupakan kemiskinannya. Akhirnya lupa mengkritisi penguasa negeri sendiri".
_____
Pada akhirnya saya sadar, kalau otak saya yang tidak bisa berhenti memikirkan hal-hal aneh bukan untuk diperdebatkan atau dipertanyakan atau disalahkan, pun dibenarkan. Saya hanya perlu menerima kalau itu memang bagian dari diri saya, semua imajinasi seaneh apapun adalah hal yang manusiawi.
Terima kasih #minikinofilmweek untuk kesempatan yang telah diberikan. Saya belajar sangat banyak.
Credit: minikino event
Sanctuary-Joji: Bagaimana Musuh Tercipta
By mayasithaarifin.blogspot.com - Jumat, Desember 06, 2019
Sanctuary-Joji
Semua kebosanan di pesawat luar angkasa ini berawal dari matinya musuh mereka, alien berkepala aneh dan bermata satu. Yang biasanya punya kerjaan; kejar-kejaran, tembak-tembakan, laser-laseran, menerbangkan pesawat luar angkasa sambil deg-degan, eh, tiba-tiba mendadak damai, ga ada lagi yang dikerjai, ga deg-degan lagi pas menerbangkan pesawat luar angkasa, pengangguran deh, kerjaannya makan, karaoekan, yang lama-lama membosankan.
Umberto Eco, novelis Italia pernah menulis essay yang berjudul Inventing The Enemy yang mana pemikiran tentang musuh ini berawal dari pertanyaan sopir taxi "how can a country have no enemies?". Umberto Eco menyatakan bahwa tidak ada bangsa manapun yang tidak memerlukan musuh. Musuh sangat penting ga cuma untuk menetapkan identitas tetapi juga untuk mengukur sistem nilai masing-masing. Semua usaha dalam melawan musuh adalah untuk membuktikan kalau kita itu worth. Jadi, kalau kita ga punya musuh, yaudah, kita harus menciptakannya.
From the very begining, sering sekali musuh bukan mereka yang secara langsung mengancam kita, tetapi bisa jadi mereka yang kita anggap mengancam meskipun sebenernya mereka ga ada niatan melakukan itu. Kita yang memilih seseorang sebagai musuh kita. Bagaimana cara kita menciptakan dan demonizing musuh? Tentu saja bikin stereotype. Stereotype dalam case ini salah satunya bermata satu.
Teman baik Joji, sahabat seperjuangan dalam memimpin team di luar angkasa sedih dengan keadaan yang membosankan itu. Dia sangat prihatin sekali melihat Joji nan ganteng dan teamnya itu nesu. Maka dari itu, untuk menyelamatkan mereka semua, dia mengorbankan dirinya untuk menjadi musuh yang musti mereka kejar dan kalahkan. Dia mencuri batu, menembak salah satu anak buah kapal, mencuri pesawat dari kapal induk dan yang paling penting untuk menjadi musuh adalah bermata satu, maka dari itu dia menyungkil satu matanya dengan sendok dan meninggalkannya dalam mangkok sereal berkuah susu.
Kita dapat lihat dalam video klip ini bagaimana tindakan heroik-pengorbanan teman Joji seketika ngebikin Joji dan teamnya bekerja dan deg-degan kembali, siap untuk misi penyelamatan; mengejar, berperang dan melawan musuh yang bakal bikin mereka menjadi pahlawan (lagi).
Aku suka sekali dengan video klip ini beserta Joji nan ganteng dan lirik lagunya yang romantis sekali. Intinya adalah aku suka Joji.
Credit: nyomot di insta joji