Percakapan antara bocah 24 dan Om-om 35 di suatu hari,
“Cowo
itu brengsek, makanya aku ga suka. Aku suka kamu” Katamu suatu hari. Aku
menatapmu aneh. “Kamu juga?” Tanyaku dalam. “Apa?” Kamu mengerutkan keningmu
tak mengerti dengan apa yang aku tanyakan.”Brengsek?” Jelasku. Dan kamu tertawa
kemudian mengangguk mantap. Berarti aku sedang mengencani cowo brengsek?. Kita
tidak butuh pacaran, begitu katamu, tapi kamu sering bertanya kepadaku “Kenapa
kamu ga pacaran?”.
“Karena belum menemukan yang tepat aja!”
Jawabku sekenanya.
“Aku
kira kamu takut”
“Aku
mau pacaran sama kamu, tapi kamu ga bisa aku pacarin”
“Maaf,
karena aku ga bisa jadi apa yang kamu mau” Kemudian kamu memelukku penuh sesal.
Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Yang aku rasakan sama terhadapmu,
jatuh cinta sekaligus terluka. Lalu apakah kita yang tanpa nama?. Kamu bilang
“Nikmati saja kita selagi bisa, yang pacaran belum tentu bisa menikmati moment
pacaran itu sendiri, karena mereka terlalu sibuk”.
“Sibuk
apa?” Tanyaku.
“Sibuk
dengan pacaran dan menuntut hal lebih” Dan aku tersadar, aku ataukah kamu yang
dalam ketakutan akan suatu status hubungan. Tetapi kita begitu sederhana dalam
menjalani selama beberapa bulan ini bukan? Mengapa terlihat begitu rumit? Atau
aku saja yang berprasangka buruk terhadapmu?.
“Aku
mudah jatuh cinta” Ceritamu.
“Aku
Tahu. Aku tahu kamu ga bisa berkomitmen. Kita sudahi saja kita?!” Aku bahkan ga
mengerti dengan apa yang aku sedang bicarakan. Kita bahkan ga ada hubungan
apapun bukan?
”Jangan!”
Dan semua terasa semakin sama, antara cinta dan terluka. Lalu perasaan ini
dinamakan apa?. Aku
bahkan lupa bagaimana aku bisa terjebak bersamamu. Di kencan ketiga di sebuah
restoran ternama di Kuta. Selama ini aku hanya terlalu terlena, terlena oleh
rasa nyaman dan bahagia. Kamu juga merasakan hal yang sama bukan?. Kita seperti
‘ya udah jalanin aja’. Bukan tanpa rasa di sana, tetapi kita sama-sama
merasakannya, merasakan sebuah perasaan yang sama. Kita jatuh cinta dan terlalu
takut akan suatu hubungan yang berkomitmen. Tunggu, aku rasa bukan aku yang
takut. Tapi kamu. Setelah perceraianmu dengan mantan istrimu lima tahun lalu,
kamu masih merasa kosong dan tidak ingin mengisinya dengan seseorang yang lain
untuk menemani hidupmu. Kamu bisa menemukannya di Tinder hanya untuk teman satu
malam. “Itu asyik, kan?” Katamu suatu hari. Aku diam, karena aku ngga tahu apa
jawabannya. Itu bukan pertanyaan, itu sebuah pernyataan tentang betapa hampanya
hidupmu.
Aku
suka kamu yang sibuk, mungkin sebelum bertemu kamu aku pernah terjebak dalam
suatu hubungan yang posesif, dimana mantanku sangat cemburu dan membatasi ruang
gerakku. Jadi saat bertemu kamu, Mr. Workholic yang supersibuk di kedai kopi
sesiangan waktu itu-saat kamu sedang pening menyelesaikan design ruangmu yang
sudah dikejar deadline-kamu menyapaku iseng dan tiba-tiba semuanya larut dalam
percakapan-percakapan yang membuatku-kita saling tertarik satu sama lain-membuatku
suka begitu saja kepadamu, aku pasti akan mempunyai banyak ruang saat aku
dengan kamu, pikirku saat itu dan memang benar. Jadi, kita tidak sama-sama
sekali, kita sangatlah berbeda dan
berakhir dengan masalah yang sama, mmm, tentang hubungan? Aku masih saja belum
tahu nama apa yang tepat untuk kita. Kita lewati saja bagian itu.
“Tan?”
Katamu pelan.
“Ya?”
“Sebagai
asisten pribadi Bossmu, kamu memang sudah seharusnya menuruti semua
kata-katanya. Jangan terlalu memanjakan karyawan lainnya hanya karena kamu
kasihan. Profesionallah!”
“Entah,
tapi kadang aku lelah”
“Aku
workaholic, aku suka kerja dan pekerjaanku. Mungkin karena itu waktuku dengan
orang yang aku sayangi jadi berkurang, makanya pada suatu hari dia meminta
cerai. Aku bahkan ngga pernah memikirkan perceraian. Karena dia selalu meminta
makanya terjadilah. Aku sukses di pekerjaanku, tapi mungkin itu pengorbanannya.
Kamu mengerti, kan maksudku?!” Jelasmu sambil menatap arah jam satu kosong. Kamu
sedang mengenang?. Aku diam, tak menjawab apapun.
“Mungkin
kamu mengorbankan sedikit perintah bossmu dan kamu baik-baik saja dengan
karyawan lainnya. Selalu ada saja yang dikorbankan untuk mendapatkan sesuatu
bukan?”
“Kalau
begitu aku ingin mengorbankanmu” Kataku begitu saja. Kamu menatapku tidak
mengerti. “Entah.
Aku ingin mendapatkan sesuatu yang lebih. Yang lebih dari pada kamu” Lanjutku, kemudian
hening.
Aku bilang ke Tuhan
"Tuhan, aku pengin Iron Man, yang mana dia bukan kepunyaan siapa-siapa selain diri dia sendiri dan Papper Potts (dan itu adalah aku)"
"Oke, tapi kamu harus pintar dulu, karena Papper Potts sebagaimana yang diketahui dia seorang gadis yang pintar lagi cerdas"
"Apa aku bisa?"
"Apa kamu bertanya?"
"Kamu Maha Bisa"
"Ya, dan kamu ciptaanKu"
"Tuhan, aku pengin Iron Man, yang mana dia bukan kepunyaan siapa-siapa selain diri dia sendiri dan Papper Potts (dan itu adalah aku)"
"Oke, tapi kamu harus pintar dulu, karena Papper Potts sebagaimana yang diketahui dia seorang gadis yang pintar lagi cerdas"
"Apa aku bisa?"
"Apa kamu bertanya?"
"Kamu Maha Bisa"
"Ya, dan kamu ciptaanKu"
Cerita
Wanita Kontemporer
Malam
Halloween dan dia mengajakku ke pesta malam di salah
satu kelab daerah Legian, Kuta. Dia bilang, dia suntuk setelah patah hati dari
mantan yang kepergok tidur dengan wanita lain, yang mana wanita itu adalah
teman mainnya di rumah sang mantan pada suatu malam. Aku bilang aku akan
menemaninya, lagi pula aku belum pernah ke pesta malam sebelumnya. Aku, dia dan
beberapa teman wanita yang sudah biasa dengan pesta malam pergi di pukul
sebelas malam. Dan sebagaimana pesta lainnya yang ramai, musik keras, dan hal
lainnya layaknya pesta malam di kelab dengan musik lagu kekinian yang diremix
oleh Dj, bintang tamu spesial dari negara lain.
Dia: Ayo, kita bikin kompetensi di
antara kita berenam!
Aku: Apa?
Dia: Siapa di antara kita berenam
yang akan dapat bule lebih dulu.
Wanita pertama: Hah, oke. Ayo!
Wanita ketiga: Aku ngga ikut, dan
kamu, please, jangan mencontoh mereka. Mereka sedang gila.
Aku: Aku bahkan ngga bisa disko. Aku
ngga ikut mereka.
Wanita keempat: Ayolah, kita harus
seru malam ini.
Wanita kedua: Ayo, kita bersaing
siapa di antara kita yang dapat lebih cepat.
Wanita keempat: Aku duduk di sini
saja, aku hanya ingin mabuk.
Aku: Aku juga, aku ngantuk.
Dia: Ini bahkan belum tengah malam.
Aku: Kamu tahu, aku tak terbiasa
begadang dan tidur larut.
Dia
dan ketiga wanita lainnya menyebar ke lantai dansa dan lebur dalam keramaian.
Aku dan wanita kedua hanya duduk, dan wanita kedua sudah menghabiskan tiga gelas
Long Island, seperti katanya, dia hanya sedang ingin mabuk, tapi dia belum
sepenuhnya sekarang.
Malam
ini lebih ramai daripada biasanya, tentu saja, saat ini Halloween. Setelah
tengah malam ada beberapa pertunjukan kostum seram yang ditampilkan. Seperti
terlihat menarik, tapi aku tidak cukup
tinggi untuk melihat lebih jelas.
The Stranger: Kamu ingin lihat?
Aku: Iya, tapi aku tidak cukup tinggi.
The Stranger: Kamu bisa naik ke
atas punggungku, kalau kamu mau.
Aku: Oh, benarkah?
The Stranger: Ya, tentu saja.
Sini!.
The stranger membungkukkan badannya
dan aku naik ke punggungnya.
The Stranger: Aku Santiago.
Aku: Apa Santiago seperti The Old Man
and The Sea dan The Alchemist?
The Stranger: Iyah, tapi aku bukan
si gembala ataupun si nelayan dan aku dari Inggris, seharusnya aku bernama
Harry.
Aku: Aku Gayo, seperti kopi Aceh,
tapi aku tidak berasal dari sana, aku dari sini,dari Bali, dari suatu desa dekat danau Tamblingan, seharusnya aku bernama Blue.
Sementara
Wanita kedua menggeleng kepala dan tersenyum melihatku yang menang, sementara
Dia, Wanita keempat, pertama dan ketiga bilang; Si Gayo menang, dia yang pertama kali dapat. Ayo, siapa selanjutnya?
Aku
hanya bertanya dalam hati; kita sedang bermain apa?
Aku, kamu, tanpa secangkir espresso.
Aku ke kedai kopi dan bertemu kamu lagi. Tapi, kali ini aku tidak memesan espresso atau apapun. Aku hanya sedang bosan dan ingin mengobrol dengan kamu. Aku banyak bertanya kepadamu seperti biasanya, menanyakan semua pertanyaan yang tiba-tiba muncul di dalam kepala, tentang apa saja pastinya.
Aku ke kedai kopi dan bertemu kamu lagi. Tapi, kali ini aku tidak memesan espresso atau apapun. Aku hanya sedang bosan dan ingin mengobrol dengan kamu. Aku banyak bertanya kepadamu seperti biasanya, menanyakan semua pertanyaan yang tiba-tiba muncul di dalam kepala, tentang apa saja pastinya.
"Apa kamu sepuluh tahun kemudian?"
"Kamu kenapa sih?"
"Apa kamu sepuluh tahun kemudian?"
"Kalau kamu bertanya lagi, aku akan jawab, aku hidup untuk hari ini. Kamu kenapa sih?"
"Kenapa aku?"
"Kamu selalu saja bertanya tentang hal yang membuatku menjadi berpikir lagi. Aku sedang memghindarinya, aku menghindari berpikir tentang apapun. Aku sedang ingin menjadi plagmatis"
Sebuah Tulisan Untuk Diri Sendiri
By mayasithaarifin.blogspot.com - Kamis, Oktober 26, 2017
Kamu
ngga pengen menjabarkan sesuatu tentang aku, seperti halnya aku yang suka
menjabarkan sesuatu tentang kamu, seperti baumu misalnya? Oke, ngga apa-apa. Aku
bisa melakukannya sendirian, maksudku menjabarkan sesuatu tentang aku. Tapi, bagamaina
kalau aku dijadikan kamu dulu, baru kemudian menjabarkan tentang aku. jadi
sekarang, aku adalah kamu tanpa kamu perlu menjadi aku. Aku menjadi kamu-yang akan menjabarkan tentang aku. Mari kita mulai.
__
Kamu.
Aku suka kamu yang suka baca buku. Kamu lucu. Aku suka kamu yang suka
baca buku dengan menggunakan kacamata patahmu. Kamu lucu. Aku suka kamu yang
suka baca buku dengan menggunakan kacamata patahmu, lalu kamu memplasternya
agar tidak jadi patah. Kamu lucu. Aku suka kamu yang suka baca buku dengan
menggunakan kacamata patahmu, lalu kamu memplasternya agar tidak jadi patah dan
bisa kamu kenakan. Kamu lucu. Aku suka kamu yang suka baca buku dengan
menggunakan kacamata patahmu, lalu kamu memplasternya agar tidak jadi patah dan
bisa kamu kenakan, padahal kamu mempunyai kacamata yang baru. Kamu lucu.
__
Kamu.
Aku suka rambutmu sebahu. Kamu lucu. Aku suka rambutmu sebahu lalu kamu gulung.
Kamu lucu. Aku suka rambutmu sebahu lalu
kamu gulung dan membuatmu terlihat anggun. Kamu lucu.
__
Kamu.
Aku suka kamu yang suka naik gunung. Kamu lucu. Aku suka kamu yang suka naik
gunung lalu kamu lelah. Kamu lucu. Aku suka kamu yang suka naik gunung lalu
kamu lelah, berkeringat. Kamu lucu. Aku suka kamu yang suka naik gunung lalu
kamu lelah, berkeringat dan kamu sudah sampai puncak. Kamu lucu.
__
Kamu.
Aku suka kamu yang suka naik gunung, rambutmu yang sebahu kamu gulung, lalu
kamu lelah, berkeringat dan ketika kamu sudah sampai di puncak, kemudian kamu
baca buku dengan menggunakan kacamata patahmu yang kamu plester itu, padahal kamu punya yang baru. Kamu lucu. Tapi
katamu, kamu di puncak gunung tak sempat baca buku, karena kamu terlalu asyik
menangis tersedu-sedu, terharu biru. Kamu lucu.
Antara aku, kamu, dan secangkir espresso sore tadi.
Aku ke kedai kopi dan
bertemu kamu. Lagi?. Seperti biasa aku memesan secangkir espresso tanpa gula. Katamu,
gula tergantung permintaan. Kamu tanya, aku suka apa?. Aku jawab, yang manis
seperti kamu. Kamu hanya tertawa, eh, tersenyum saat aku rayu. Kemudian aku
seruput sedikit dan rasanya pahit, sangat pahit malah.
“Yang
kemarin ada rasa asamnya. Kenapa ini pahit sekali?”
“Yang
ini Kopi Kintamani. Yang kemaren kopi apa? Ga pahit karena aku kasih coklat”
“Yang waktu itu espresso kok, bukan mocha, pastinya tanpa coklat”
“Yang waktu itu espresso kok, bukan mocha, pastinya tanpa coklat”
“Ga
tahu. Tapi terakhir, seingatku, aku bikin buat kamu dan itu aku kasih coklat”
“Bukan
yang itu, ada lagi”
“Berarti
bukan aku yang bikin buat kamu waktu itu, mungkin seseorang yang lain”
“Aku mau gula”
“Aku mau gula”
“Kenapa
pakai gula? Emang aku belum cukup buat kamu?”
Kucing
Yang Bernama Pacar
Nata
masih ingat saat Dinda datang kala gerimis sore itu. Tiga hari sebelumnya, komunitas
peduli hewannya menemukan anak kucing yang terlantar di jalan menuju pantai
Nyang Nyang di semak-semak dengan badan yang dipenuhi permen karet, dia begitu
ringkih. Seorang temannya, Ani menghubungi Dinda apakah dia mau mengadopsinya.
Dengan senang hati Dinda bersedia, dan anak kucing itu diobati terlebih dahulu
oleh Nata di kliniknya.
“Mmm..
dokter Nata ya?” Sapa Dinda penuh senyum. Senyumnya sangat manis dan hangat.
“Pacarku
mana? Uda sehat kan? Kata Ani, aku disuruh ngambil ke sini. Bener kan?”
Lanjutnya. Nata mengerutkan keningnya, tidak mengerti, lalu dia menggeleng.
“Pacar?”
Tanya Nata. Dinda mengangguk pasti.
“Iyah,
anak kucing yang kemaren ditemukan dan perlu diadopt. Kata Ani dia jantan, ya
udah aku kasih dia nama Pacar” Jelas Dinda. Nata memijit kepalanya yang tidak
sakit sambil tersenyum. Bukan hanya wajah Dinda yang lucu, tapi orangnyapun
lucu. Hatinya seperti terasa begitu akrab dengan Dinda, padahal ini adalah kali
pertama mereka bertemu. Terima kasih Ani telah membuat Dinda datang tiba-tiba
ke kliniknya, ucapnya dalam hati.
“Oh
uda! Mau dibawa sekarang?” Kata Nata. Dinda mengangguk. Nata mengajak Dinda ke
ruangan dimana Pacar berada. Pacar, seekor anak kucing hitam jantan yang
mungkin dibuang oleh pemiliknya dan umurnya kira-kira masih satu bulan.
Kondisinya sangat mengenaskan saat ditemukan. Kondisinya sangat lemah dan
sekarat, mungkin karena terjebak permen karet dan sudah berhari-hari tidak
makan dan sempat diguyur hujan.
“Dia
botak. Bulunya aku cukur, karena lengket oleh permen karet” Jelas Nata. Dinda
menyolek-colek Pacar dari lubang kandang. Pacar menempelkan wajahnya manja.
“Biarin
aja botak, yang penting ganteng. Yak an, Pacar kesayangan aku” Saut Dinda. Nata
tersenyum lagi.
Tiga
hari lalu, saat Ani menghubungi Dinda, menanyakan tentang apakah dia mau
mengadopsi anak kucing, dan menjelaskan bagaimana keadaanya si anak kucing,
tanpa pikir panjang dia menyetujuinya. Dia sudah lama menginnginkan piaraan.
Mamahnya sudah mengajaknya ke petshop terdekat untuk memilih binatang atau
kucing apa yang dia mau. Nyatanya ngga ada yang menarik perhatiannya. Tapi begitu
Ani menawarkan dan menjelaskan, bahwa mungkin si kucing akan menjadi sangat
jelek karena akan dicukur dan mejadi botak, Dinda bilang itu ngga apa-apa. Dia
sudah merasa tertarik bahkan sebelum melihatnya. Apakah itu namanya cinta? Seperti
halnya Mamah yang sudah mencintainya, bahkan sebelum melihat dia lahir ke
dunia. Maka dari itu langsung saja dia beri nama si anak kucing itu Pacar.
Esoknya, team dari komunitas peduli hewan datang ke rumahnya untuk menyurvei
apakah dia layak untuk memelihara hewan piaraan, dan dinilai layak. Dinda saat
itu sangat senang dan ngga sabar untuk segera bertemu dengan Pacar, ingin
segera menjemput Pacar di klinik dimana dia diobati, ingin lekas diabawa pulang
dan dipeliharanya dengan sayang.
“Kenapa
namanya Pacar?” Tanya Nata penasaran.
“Karena
aku ngga punya pacar, tapi sekarang aku punya Pacar” Jawab Dinda dan cukup
membuat Nata tertawa. Dia suka Dinda. Sungguh. Dia belum pernah merasakan ini
sebelumnya. Dari awal melihat Dinda dia sudah tertarik, selain dia cantik,
senyumnya manis dan hangat, suaranya lucu dan sikapnya.. oh sungguh, dia
benar-benar jatuh cinta dengan Dinda.
“Oke,
jadi kamu mau bawa pulang dia sekarang? Kamu bawa tas kucing? Atau kandangnya,
mungkin?” Tanya Nata. Dinda menggeleng.
“Kata
Ani, klinikmu tutup di jam enam dan kamu bawa mobil, dan kata Ani lagi, rumahmu
melewati rumahku. Jadi, tadi aku ke sini naik ojek online, niatnya sama Pacar
nebeng sama kamu sekalian. Jadi gitu.” Jelas Dinda. Nata mengangguk sebagai jawaban Ok. Hah, senangnya bisa
nganterin Dinda pulang. Sorak Nata dalam hati.
Dan
saat itu, gerimis yang perlahan menjadi hujan, senja dan jalanan Bypass cukup
macet, Nata mengantarkan Dinda pulang, tentunya bersama Pacar. Mereka sempat
bertukar nomer whatsapp dan saling mengikuti di akun instagram. Nata bilang,
Pacar masih perlu perawatan beberapa kali, karena ada luka di kaki belakang
sebelah kanan cukup parah. Untuk masalah biaya sampai si Pacar sembuh gratis. Karena
itu adalah program dari komunitas peduli hewannya. Ani adalah adik tingkatnya
di kampus tempat dia belajar dulu, dan kata Dinda, dia dan Ani adalah teman
saat di sekolah menengah bawah dulu. Dinda banyak cerita saat di mobil, dia
sangat cerewet dan lucu menurut Nata. Ada saja yang dibahas, termasuk Film. Pinguin Madagascar yang sudah berkali-kali dia
tonton tapi ngga pernah bosan.
“Mereka
itu lucu banget, dok” Cerita Dinda antusias. “Aku tuh suka menghayal, aku
berharap pas di chapter terakhir, saat dilaserkan laser untuk membuat imut
kembali penguin-punguin, aku terkena lasernya, biar aku jadi imut seperti
mereka” Lanjut Dinda. Nata tertawa. Dia pengin bilang ke Dinda, bahwa dia ngga
butuh laser itu karena dia sudah imut, tapi yang keluar dari mulutnya hanya, “Terus?”
Tanya Nata antusias.
“Ah
cape, haus. Minum dululah” Kata Dinda, mengambil botol air Tupperware kecil
dari tasnya, meminumnya lalu menarik napas. Nata hanya menggeleng, tersenyum
melihat tingkahnya.
“Kata Ani, makanya aku ga punya pacar.
Abis masih suka Pinguin Madagascar” Keluh Dinda setelahnya.
“Hahahaha. Ani ngaco”
“Iyah, padahal ga punya
pacar belum ada yang menarik aja. Eh ngga tau juga”
“Hahahaha…
jadi kamu sibuk skripsi nih sekarang kayak si Ani”
“Ga, sibuk poto-poto doang sih sekarang. Lagi suka aja, masih males garap,
belom ada inspirasi”
“Kelakuan
anak PS Fotografi banget ya” Kata Nata menghakimi. Dinda tersenyum dan menjawab
“Ngga semuanya, mungkin aku aja yang pemalas. Hehehe”.
Kemudian
mereka menjadi akrab. Keadaan Pacar dan lukanya segera membaik, karena Dinda
merawatnya dengan baik dan sangat mengikuti saran-saran dari Nata. Kecuali bulu
Pacar yang sangat lama tumbuh. Sebenarnya Mamah jijik dengan Pacar yang botak,
tapi entah, dia pasrah, karena Dinda begitu sayang dengan Pacar. Bahkan Pacar
setiap malam harus tidur di kamar Dinda. Si Pacar bisa bebas nakal saat Dinda kuliah
saja. Mamah suka heran dengan Pacar, dia terlihat begitu pasrah kalau Dinda
suka memeluknya gemas tanpa perlawanan.
“Nanti
Pacar bisa mati gegara ga bisa napas kamu aniaya” Tegur Mamah, tapi Dinda ga
pernah peduli dan selalu menyangkal “Siapa yang aniaya Pacar sih, Mah? Ini itu
pelukan sayang tau”.
Dinda
anak tunggal, dari orang tua tunggal. Papahnya sudah lama meninggal saat dia
masih duduk di bangku SMA dulu. Mamahnya mempunyai usaha Wedding Organizer yang
cukup ternama, yang membuatnya tidak pernah kesusahan dalam masalah finansial meskipun
statusnya single parent.
Dan
Nata, perasaannya semakin hari semakin besar dengan Dinda. Maka dari itu,
semakin Pacar besar dan lincah serta sehat, semakin jarang Dinda berkunjung ke
kliniknya. Membuat Nata sangat rindu dengan Dinda. Dia sering kepo akun insta
Dinda atau sekedar say hello via whatsapp.
Sebenarnya
dia ingin melakukan aksi PDKT ke Dinda, seperti mengajaknya pergi nonton atau
sekedar makan malam misalnya. Tapi dia ngga mempunyai nyali untuk melakukannya.
Dan sepertinya Dinda ga ada perasaan lebih ke dia, Dinda seperti ngga punya
perasaan yang sama terhadapnya. Sikapnya Dinda ga berubah, masih sama saat
seperti pertama kali mereka bertemu dulu, yang kalau bertemu masih rame dan
suka banyak cerita, termasuk masih suka cerita bahwa dia masih suka Pinguin
Madagascar.
Nata
pengin kepo tentang Dinda ke Ani, tapi malu. Dia sangat bingung dan merasa
serba salah mau bagaimana, dia ingin Dinda.
Hingga
suatu hari Dinda menelponnya.
“Dokter
Nata, besok aku wisuda. Dokter bisa datang ga sebagai dokter yang udah baik
hati ngerawat Pacar?”. Ah, mimpi apa Nata semalam. Seperti mendapat Durian
runtuh.
“Oh
bisa kok. Dimana? Jam berapa, Din?”
“Nanti
aku wassap ya tempat, alamat dan jamnya” Jawab Dinda.
“Oke”
Lalu,
hari itu adalah hari yang membahagiakan bagi Dinda, setelah kuliah selama enam
tahun. Dengan perjuangan keras melawan rasa malas menyelesaikan skripsi. Tapi
hari itu yang paling bahagia adalah Nata. Dia merasa terhormat mendampingi
Dinda, yang di acara itupun dia tersenyum lucu bahwa Dinda dengan bangga menggendong
Pacar yang mengenakan jas, yang dibuat khusus untuk acara wisuda saat itu. Nata
hanya tersenyum. Mamah hanya menggeleng, maklum dengan kelakuan Dinda yang
sangat menyayangi Pacar.
“Gitu
dah, dok, kelakuan Dinda, ngga mau lepas dari si Pacar. Padahal setelah dua
tahun dari dibawa ke rumah dulu, si Pacar masih juga burik, ga punya bulu,
dielus-elus juga males, abis kasar, bulunya kependekan, item pula” Curhat
Mamah.
“Hahaha”
Hanya itu saja tanggapan dari Nata. Nata memberi Dinda sebucket bunga mawar
merah. Tolong dicatat, mawar merah, sebagai tanda bahwa dia cinta Dinda dari pertama
dulu, dari dua tahun lalu, saat Dinda datang ke kliniknya di sore yang gerimis.
Dan saat Dinda menerimanya, dia hanya mengucapkan terima kasih saja. Sepertinya
dia ngga ngerti bahwa itu kode Nata. Dia seperti nampak biasa-biasa saja.
Di
akhir acara, si Ani datang.
“Yah
Ani, kenapa terlambat. Uda mau pulang. Tapi kita mau lanjut di rumah,
bakar-bakar ikan sama dokter Nata, sama yang lainya juga” Kata Dinda.
“Duh
Din, sorry, tadi aku cukup sibuk sama kerjaan” Kata Ani.
“Hi,
dok. Gimana kabar?” Sapa Ani. “Baik” Kata Nata.
“Ya
udah, lanjut di rumah, yuk. Si Pacar uda ga sabar makan ikan. Iya kan Pacar?
Mmm.. Pacarku sayang” Kata Dinda sambil mengelus kepala Pacar. Pacar hanya diam,
menatapnya sayu, manja, tidak mengeong.
“Hah,
Pacar mah modus. Kalau Dinda ngga ada galak dia, An. Nakal, suka berantakin
rumah. Giliran Dinda ada sok kalem, sok polos” Kata Mamah kesal sambil memukul
pelan kepala Pacar. Pacar mengeong galak. Dinda cemberut.
“Apa
sih, Mah? Usil aja loh!” Protes Dinda. Ani dan Nata hanya tertawa melihat
kelakuan mereka.
_____
Dan
sekarang, Dinda datang dengan muka paling sedih dengan membawa pacar yang penuh
darah di sore yang gerimis, sama seperti saat kali pertama dia datang, bedanya
tidak ada senyum hangat disana, hanya ada kesedihan. Nata cukup kaget, dan
langsung mengerti, segera dia membawa Pacar ke dalam ruangan, meminta Dinda
menunggu di luar. Satu jam kemudian Ani datang, menyapa Dinda sebentar kemudian masuk
ke dalam ruangan Nata. Dinda sangat bingung. Dia hanya bisa berharap Pacar
baik-baik saja.
“Aku
pulang, dan dia sudah ada di sana, Sis” Kata Dinda membuka percakapan dengan
Siska, recepsionist di Klinik Nata. Siska mengelus bahunya. Siska ngga tahu
harus menanggapinya apa, dia sangat tahu Dinda yang sangat sayang dengan Pacar,
dan dia juga tahu Nata yang diam-diam suka Dinda, dari dulu sampai sekarang.
“Dia
uda tergeletak penuh darah, napasnya uda tersenggal-senggal, ngga tahu dia uda
berapa lama disana, keujanan” Kata Dinda lagi sesenggukan. “Lima tahun kita
sama-sama. Udah banyak hal yang uda kita lakuin sama-sama. Aku sayang banget
sama dia, Sis” Lanjut Dinda.
“Pacar
juga sayang sama Dinda kok. Pacar bakal baik-baik saja” Hanya itu yang keluar
dari mulut Siska.
Pukul
Sembilan Nata dan Ani kelkuar dari ruangan. Nata menggeleng, memberi kode ke
Siska bahwa Pacar ga selamat. Pacar terluka sangat parah, jeroannya hancur,
mungkin motor melindasnya.
Siska
pergi saat Nata menghampiri Dinda dan duduk di sebelahnya. Dinda menoleh kea
rah Ani yang masih berdiri lemas di depan pintu ruang, dimana mereka sudah
berusaha menyelamatkan Pacar, mengoprasinya, dan pacar ngga selamat, Ani hanya
bisa menggelengkan kepalanya sedih. Dan Dinda mengerti apa maksudnya. Dinda
menangis, hatinya remuk, semua kenangan tentang Pacar langsung berkecamuk dalam
kepalanya.
“Apa
kamu butuh pelukan?” Kata Nata menawari. Dinda tidak menjawab, dia langsung memeluk
Nata sambil menangis sesegukan. Di luar hujan sangat deras sama seperti air mata
Dinda. Nata membalas pelukan Dinda, membiarkan air mata Dinda membasahi bagian
bahu jas putihnya. Di saat yang sama, Nata ngga tahu, sebenarnya yang butuh
pelukan siapa? Dia atau Dinda?.
“Pacar
sayang sama kamu, Din. Seperti halnya aku sayang kamu dan semua sayang kamu!”
Nata ngga peduli, apakah dia mengungkapkan perasaanya di saat yang tepat atau
tidak. Hanya itu yang bisa dia katakana saat ini. Dinda masih menangis dalam
pelukan Nata. Dan di luar, hujan masih deras.
Kamu sesuatu yang asing dan begitu familiar dan kita tidak membutuhkan alasan apapun.
Sudah
beberapa hari ini Angga tidak mengajaknya bicara. Ketika bertemupun di sekolah
Angga selalu menghindar. Megi, teman sebangkunya mulai jengah karena harus
berkali-kali menyoleknya, memberi kode kalau guru mulai curiga dia sedang
melamun tidak memperhatikan penjelasan di depan, memutar-mutar pulpennya dan menatap
kosong ke luar jendela, ke langit yang kosong tanpa awan cumulus, hanya biru
langit dan burung yang jarang berseliweran, mungkin sesekali setelah itu tak
ada lagi. Yang memenuhi pikirannya hanya ada Angga.
Hubungannya
dengan Angga sudah berjalan hampir enam tahun, dari mereka masuk SMP dulu di
sekolah yang sama namun beda kelas, sekarangpun masih, selain beda jurusan.
Angga di jurusan pariwisata dan dia di teknik informatika. Mereka hampir tidak pernah
bertengkar hebat selama ini, semua berjalan baik-baik saja. Dan sekarang, Angga tiba-tiba mendiaminya,
bahkan menghindarinya.
Saat
jam istirahat tiba dia melengos menuju perpustakaan. Tidak ada siapapun disana kecuali
Wildan yang sedang duduk di pojok ruangan dan Buk Wirda, penjaga perpustakaan.
Wildan
teman sekelasnya, sejak kelas sepuluh malah, si juara kelas dan introvert yang
jarang bicara. Siapa pacarnya, masih misteri. Tak ada yang tahu, menurut gossip yang beredar, pacarnya anak sekolah
lain.
Yaiyalah,
siapa yang ngga mau sama Wildan? Ga begitu ganteng sih, keren iya, kaya iya,
pinter juga iya. Hanya dia yang ngga mau sama Wildan, dia hanya mau Angga dan
sekarang Angga mendiaminya.
“Wil?”
Wildan mendongakkan kepalanya kea rah Lina. Lina mengambil duduk di depannya.
“Ada
apa?” Tanya Wildan. Lina mengambil buku yang sedang dibacanya. Wildan
mengerutkan keningnya. Itu bukan hal yang sopan. Tapi sejak kapan Lina sopan? Selain
dia sombong, misalnya.
“Ga
da” Jawab Lina sambil membolak-balik halaman buku yang dia rebut dari Wildan. “Kenapa
kamu selalu ke perpus? Aku perhatikan kamu jarang ke Kantin. Mungkin iya, tapi
hanya sebentar lalu kamu ke sini?” Lanjut Lina.
“Apa
urusanmu?” Jawab Wildan yang masih kesal dengan ketidaksopanan Lina yang
tiba-tiba merebut buku yang sedang dia baca.
“Kenapa
kamu baca Taschen?” Tanya Lina lagi. Dia bahkan ngga peduli dengan kekesalan Wildan
terhadapnya. Wildan merebut bukunya kembali dari Lina saat Lina sedang asyik
membolak-balik halaman.
“Tahu
apa kamu?” Lina menatapnya biasa saja, dia mengangkat bahunya, seolah-olah itu
adalah jawaban pertanyaan Wildan. Lalu dia
beranjak dari duduknya dan pergi meninggalkan Wildan sendirian lagi.
Wildan
hanya menatap punggung Lina yang kemudian menghilang dari balik pintu. Dia heran,
mimpi apa Lina tiba-tiba menghampirinya di perpustakaan hanya untuk iseng
mengganggu dia sebentar?.
Keesokan
harinya masih sama, Lina datang lagi menghampirinya, hingga esoknya lagi dan
esoknya lagi, kadang hanya duduk di depannya dengan diam dan sibuk memainkan
henponnya, lalu pergi tanpa kata. Dan ini cukup membuat Wildan terbiasa.
Sebenarnya kedatangan Lina beberapa hari ini tidak mengganggunya sama sekali
bahkan terasa seperti biasa saja. Karena Wildan selalu melihat Lina setiap
harinya, mungkin. Secara, mereka selalu sekelas dari kelas sepuluh sampai
sekarang, kelas duabelas.
Dan
Lina bahkan tidak mengerti mengapa dia
menghampiri Wildan ke perpustakaan. Sebenarnya dia tidak menghampiri
Wildan. Dia sedang menghindari supaya tidak berpapasan dengan Angga yang sedang
menggantung nasib hubungan mereka. Dia hanya terlalu sakit ketika ngga sengaja
bertemu dan berpapasan dengan Angga, Angga bersikap seolah-olah tidak pernah
ada apa-apa di antara mereka. Maka dari itu dia sengaja ke perpustakaan dan
kebetulan Wildan selalu ada di sana. Mungkin ada beberapa yang lain, tapi yang
dia kenal dengan baik hanya Wildan. Bukan karena selama ini mereka dekat,
tidak, mereka bahkan tidak pernah saling menyapa dan terlibat obrolan yang lama
dan intim, hanya saja terbiasa karena selalu sekelas.
Lina
bukan type cewe populer sekolah, padahal dia termasuk yang tercantik di
kalangan murid perempuan, tapi dia biasa saja. Dia begitu wah tapi bukan berarti
dia type yang down to earth, dia bahkan terkenal sombong, walaupun sebenarnya
dia tidak. Dia type cewe cantik yang jarang berbiacara kecuali dengan
orang-orang yang terbiasa akrab dengannya dan dia menjadi sangat cerewet kalau
sudah akrab. Lina tidak terlalu pintar, dibanding Syifa, dia jauh.
Menurut
Wildan “Tuhan adil. Karena yang cantik tidak terlalu pintar dan yang biasa saja
seperti Syifa, si anak kelas Akutansi, misalnya, malah sangat pintar”. Dan
tidak ada kesan apa-apa lagi tentang Lina, yang dia bahkan tidak peduli sama
sekali.
Tapi
akhir-akhir ini, saat Lina menyapanya dengan pertanyaan yang sama, itu cukup meninggalkan
kesan yang berbeda di pikiran Wildan, dan itu cukup mengganggunya. “Kenapa kamu baca
Taschen?” Wildan selalu menjawab “Kamu tahu apa?” Dan Lina tidak menjawabnya
lagi.
Dan
moment-moment ini terjadi berbulan-bulan hingga akhirnya mereka mulai sibuk
dengan ujian dan tidak pernah bertemu dan duduk berhadapan dalam diam
sepanjang istirahat lagi di perpustakaan. Semua berjalan seperti biasanya.
Hubungan
Lina dan Anggapun tidak ada kemajuan, Lina hanya pasrah, meskipun di pertama-pertama
dia sempat drama dengan mengirim banyak pesan ke Angga, menanyakan ada apa dan
bagaimana kejelasan hubungan mereka, tapi Angga tidak pernah membalasnya, lama-lama
membuat Lina bosan dan kebetulan ujian akhir sekolah sangat membantunya untuk
membuat dia lupa akan patah hatinya terhadap Angga, yang bahkan dia tidak
benar-benar yakin kalau dia patah hati.
Hingga
pengumuman kelulusan dan dirinya diterima di salah satu kampus kejuruan swasta,
Wildan di universitas negri mengambil jurusan arsitek, dan Angga melanjutkan pendidikan di
sekolah tinggi pariwisata, semua berlalu biasa saja tanpa kesan apa-apa. Datar.
Tiba-tiba
di hari acara wisuda, kelulusan sekolah, Angga datang mengahampirinya.
“Lin?”
Sapa Angga. Lina tersenyum tanpa ada rasa di sana. Angga memberinya bucket
bunga. “Selamat ya!” Lina menerima dan “Terima Kasih” Katanya. Ada jeda sejenaknya
setelahnya sebelum akhirnya Angga mengucapkan kata-kata yang cukup membuat Lina
tersenyum lucu dan sadar akan sesuatu.
“Mmmm….
Satu semester ini aku nanya, aku dan kamu bagaimana?” Angga diam sejenak,
memikirkan kata-kata yang pas. “Aku cuma nanya ke diri aku sendiri, aku sayang
kamu atau ga?” Lalu jeda lagi “Kita udah lama banget ya pacaran?!”
“Oh,
kita masih?” Tanya Lina meyakinkan.
“Ya!
emang kapan kita putus?” Jawab Angga.
“Oh” Hanya
itu saja yang keluar dari mulut Lina.
“Aku
bahkan sampai lupa, kita jadian dulu kenapa ya?”
“Sama, aku juga lupa!” Jawab Lina.
“Terus
selama ini aku diemin kamu, aku cuma ngasih waktu ke kita, dan akhirnya aku
jadi tahu, kenapa aku sayang banget sama kamu dan aku pengin kita bisa
sama-sama terus”
“Kenapa?
Bukannya sayang ga butuh alasan?” Tanya Lina. Lalu Angga menjawab “Karena
selama ini aku nyari tahu alesannya apa dan ternyata aku ga nemui celahnya
dimana!” Seketika Lina tersadar. Teringat sesuatu yang membuat dia ga punya
alasan sama sekali suka terhadap seseorang. Lina tertawa, lalu memngembalikan
bucket bunga yang Angga beri dan meninggalkannya. Angga terdiam, ngga ngerti
kenapa Lina meninggalkannya begitu saja.
Lina
menepuk bahu Wildan dari belakang. Wildan menolehkan kepalanya. Dilihatnya Lina
dengan senyum yang sangat sumringah.
“Kamu
kenapa baca Taschen?” Tanya LIna antusias. Wildan menatapnya ngga ngerti.
“Tahu
apa kamu?” Tanya Wildan seperti biasanya, seperti kemarin, sebelum-sebelumnya.
Lina menyolek Megi yang sedang duduk di sebelah Wildan dan memberinya kode
untuk pergi. Megi paham, lalu pergi, memberi kursinya ke Lina. Lina tersenyum
manis kepada Megi, seolah-olah itu adalah ucapan terima kasihnya.
Wildan
masih menatapnya dengan pandangan ngga ngerti.
“Kamu
tahu kenapa?” Tanya Lina. Wildan mengerutkan keningnya, lalu menggeleng.
“Karena
selama ini kamu suka aku dan aku suka kamu!” Jawab Lina tegas. Wildan
tersenyum, menggelengkan kepalanya seolah-olah ngga percaya dengan apa yang
sedang terjadi, dengan apa yang Lina baru saja katakan. “Dan kita ga pernah nyari tahu aja apa alesannya, kita hanya
terbiasa” Wildan malah tertawa dan bilang “Tahu apa kamu?”. Lina tersenyum dan
menjawab “Tahu apa kamu?”. Kemudian mereka menatap ke depan, ke podium di mana Pak Kepala Sekolah sedang berdiri dan akan memberi sambutan. Wildan megenggam tangan tangan Lina di atas pahanya, mereka tersenyum membenarkan
semuanya.