Rasanya uda lama banget ga blogging dan bikin cukup kangen.
Percaya deh, ga blogging bukan karena sibuk, tapi lebih karena males. Huhuhu :'(
Dan aku rindu kalian...
Ini cerpen pertama yang aku coba buat, baru belajar jadi agak berantakan dan ga jelas. Ngomong-ngomong, makasih yang udah nyempetin waktu buat baca, jangan lupa tinggalin komentar pedes di bawah ya buat advice aku buat belajar lebih lagi.
****
Star Cluster
Aku
jatuh cinta dengan cerita bagaimana kita berjumpa. Saat itu kita ada di atas
kapal bermotor menuju Geragjagan Banyuwangi, G-land. Kita duduk di bangku yang
bersebalahan, aku datang sendirian dan sedang duduk sendirian, kamu duduk
sendirian dan datang bersama rekanmu, sesama videographer, Jeremy kalau tidak
salah kamu menyebutnya, seorang Australia yang mencintai selancar air juga. Tentu
saja goncangan kapal membuat aku mabuk. Aku sempat muntah beberapa kali, sejujurnya banyak
sekali dan ga mampu tertidur, aku sudah
memcoba mengalihkan perhatian dengan baca buku, Arok Dedes oleh Pramoedya
Ananta Toer dan kamu di sana, di sebelahku menggunakan kacamata hitam, kamu
sedang tertidur, mungkin.
Kita
ada di atas kapal selama dua setengah jam perjalanan dari Kuta Reff ke
Gragjagan-Banyuwangi, di sana hanya hutan sepi dengan banyak monyet
berkeliaran, tentu saja ada beberapa rusa liar sedang minum di air laut yang
surut serta beberapa elang terbang menangkap ikan. Di salah satu sudut jalan
hutan terdapat papan “Alas Purwo National Park” saat kita sampai di pantai
menuju cottage kita, kita masih tanpa sapa dan belum mengenal satu sama lain
pastinya.
Aku
datang tak lebih hanya untuk membuang penat dituntut lekas menikah oleh
lingkungan, bosan rasanya seperti tak ada hal lain yang lebih genting dan
penting selain menikah, menikah dan menikah untuk perempuan seperempat abad.
Seakan-akan aku lajang berumur setengah abad dan semua berteriak “Injury time,
injury time, Dela”, aku butuh sebuah perjalanan untuk me time, jauh dari semua
orang yang menuntutku untuk menikah.
Lalu
semuanya masih berjalan seperti biasanya, aku tetap sendirian, melamun sendirian
dan sedikit bicara kecuali dengan staff di sana yang berbicara bahasa
Indonesia, aku tidak bisa berbicara dengan yang lain, yang berbeda Negara. Kamu
duduk di salah satu kursi di Bar, membaur dengan semua, kamu supel. Setelah sehari
di sana semua masih sama: kita tak lebih apa-apa, senyumpun tidak. Hingga suatu
senja ketika aku menikmati sendirian, kamu di bawah menerbangkan drone-mu, aku
duduk di atas, di tempat untuk penjaga pantai.
“Eh
bisa minta tolong ga?” Sapaan pertamamu.
“Apa?”
“Kamu
lagi pura-pura selfie”
“Oke”
Kemudian biasa saja.
Senja
semakin tenggelam, aku turun dan duduk di kursi pantai mengobrol santai dengan
staff yang menjual beer di sana.
“Aku
lihat kamu baca Pram” Aku menoleh, melihatmu takut. Kamu mengambil duduk di
sebelahku, meminum beer. Kamu sangat santai.
“Ya?
Arok Dedes?” Kataku terbata. Pupil matamu membesar dan terlihat seperti
berpikir, ada jeda.
“Mmm,
aku udah baca kayaknya”
“Oh
ya?”
“Kamu
suka baca novel?”
“Iyah,
tapi aku baru nyoba baca Pram, sebelumnya cuma baca teenlit dan bacaan alay.
William Shakespeare?”
“Oh
ya? Kamu benar-benar alay. Apalagi?”
“Aku
suka Eka Kurniawan, Cantik Itu Luka?”
“Teman-temanku
juga ramai membicarakannya. Dulu aku suka baca juga, Cuma sekarang karena kesibukan jadi ga
sempet. Tapi baca bukan hal asing kok bagi aku”
“Iyah,
aku ga baca nonfiksi. Aku hanya baca fiksi. Otakku ga mampu mencerna nonfiksi”
“Hahaha,
perlahan, santai aja” Lalu semua melebur dan berakhir sebagai obrolan biasa di
kala senja.
Keesokan harinya semua masih biasa. Kita pergi makan pagi tanpa senyum ataupun sapa seperti tidak ada terjadi percakapan kemarin sore, lalu makan siang hingga sore ketika senja tiba lagi, saat aku keluar kamarku tiba-tiba kamu menyapa.
“Kita
tetangga”
“Iya”
“Eh
kemarin bagus loh hasil rekamannya”
“Oh
ya?” Kamu menunjukkan beberapa rekaman yang kamu ambil menggunakan drone-mu kemarin, aku hanya menggangguk sekenanya. Lalu percakapan berakhir begitu saja, banyak yang menggantung disana.
Seperti
biasa tiap senja tiba kita beramai pergi bersantai ke pantai. Tapi kali ini
kamu di pantai hanya duduk santai biasa bersama rekanmu, tidak ada kesibukan
menerbangkan drone seperti kemarin. Dan aku seperti biasa pula naik dan duduk
di tempat penjaga pantai lalu turun menjelang senja hampir tenggelam
dilanjutkan mengobrol santai dengan staff di pantai. Kamu menghampiriku lagi,
seperti halnya kemarin.
“Kamu
kayaknya ada di sana deh, terus di sana, terus di sini. Kapan pindahnya?”
“Kayak
kutu loncat ya?”
“Bukan.
Mmm, kayak apa ya?”
“Hahaha.
Eh kita belum kenalan. Dela. Dela Sari” Aku menjulurkan tangan kananku kepadamu, kamu
menyambutnya.
“Bayu Mahendra”
“Pak?”
“Hahaha,
emang umurmu berapa?”
“Dua
lima”
“Oke,
tiga tujuh”
“Sudah
tua! Marriage?”
“Divorce”
“Sorry”
“Hahaha,
gapapa. Itu sudah lama banget”
“Oke”
Dan
kemudian kita berlanjut dengan percakapan-percakapan yang biasa, basa-basi biasa, cerita
satu sama lain. Cerita tentang pekerjannju, tentang semua hal yang sudah kamu capai dan banyak hal
yang belum aku capai sebagai juniormu-dengan perkerjaan-hanya mbak-mbak kantoran biasa. Aku hanya menatap antusias mendengar
cerita-ceritamu, terutama travelingmu ke ASEAN, itu menarik bahwa kamu adalah
backpacker bukan anak koper. Kamu bilang kamu melakukannya karena terinspirasi
dari tokoh Bodi di Akar-nya Dewi Lestari.
“Ya
kamu cocok, karena wajahmu Chinese”
“Hahaha,
iyah”
Hingga
senja menghilang berganti malam orang-orang telah kembali ke cottage mereka
masing-masing kita masih asik mengobrol santai di pinggir pantai, dalam gelap
dan kita saling meraba dalam melihat.
“Kita
terlambat untuk makan malam” Tegurku
“Iyah.
Eh kamu mau nemenin aku ga entar malem jaga kamera?”
“Dimana?”
“Helipad
Hutan”
“Kenapa
ga sekarang kamu motret?”
“Ga,
motret timelapse selama beberapa jam. Kameranya motret tiap satu menit sekali”
“Emang
harus dijagai?”
“Ga,
aku takut aja dibawa kabur monyet”
“Oke”.
Dan
saat itu sehabis makan malam kita pergi ke Helipad dengan membawa selimut dan
bantal masing-masing lalu kita berbaring bersebelahan disana: di Helipad di
tengah hutan di pinggir pantai menatap langit berbintang. Indah sekali. Aku
hanya terdiam tanpa kata, begitu juga kamu. Ada rasa luar biasa di sana, aku
sama sekali tidak menyesal menemani kamu jaga kamera saat itu.
“Ada
bintang jatuh. Kamu lihat?”
“Ya”
“Make
a wish?”
“Seperti
yang Paman Geppeto lakukan, Paman Geppetonya Pinocchio”
“Ya.
Kamu sama siapa?”
“Sendirian”
“Di
cottage?”
“Ya,
kamu?”
“Sama
Jeremy, kan bed ada dua”
“Ya
di room ku juga”
“Tapi
kamu sendirian”
“Ya
aku sendirian. Kamu main surfing?”
"Gabisa, tapi Jeremy bisa dan dia suka! Aku kesini cuma liburan biasa"
Lalu hening, kembali menatap gugusan bintang.
“Kamu
lihat yang berentuk huruf T kecil” Katamu sambil menunjuk salah satu gugusan
bintang. “Itu
Scorpion” Lanjutmu.
“Itu
yang paling besar di sana pasti Jupiter’
“Bukan,
itu Saturnus. Indah yah?”
“Bukannya
Jupiter?” Kamu mendekatkan kepalamu
kepadaku, tanganmu menunjuk ke atas, dan berkata “Itu, yang paling besar, yang
lebih rendah, itu Jupiter” Aku mengikuti
arah yang kamu tunjuk. Kemudian kita terdiam lagi, menatap langit lagi. Kalau
tidak salah kita menghadao ke selatan saat itu.
“Kenapa
di langit utara bintangnya ga sebanyak sebelah
selatan?” Aku menoleh ke utara, sudah pantai kemudia perkotaan mungkin
di sebrang sana, kota Banyuwangi. “Di
sana terang, makanya cahaya bintang jadi ga kelihatan”
“Ya?”
“Kamu
tahu di sana apa?” Aku menggeleng. “Hanya hutan, kemudian laut, kemudian benua
Australia. Maka dari itu bintang-bintang terlihat lebih terang”.
Dan
kita melanjutkan malam-malam berikutnya dengan berbaring di tempat yang sama
untuk melihat bintang-bintang, tapi setelahnya tanpa ada harus menunggu kamera
yang motret tiap satu menit sekali supaya tidak dibawa monyet. Kita hanya suka,
suka mengahbiskan malam berdua untuk melihat bintang-bintang hingga tertidur
disana. Aku bahagia dan berterima kasih kepada semesta, kepada galaksi yang
membuat kita lebih dekat dan semakin akrab, semakin menemukan banyak perbedaan
yang menyatukan dan itu luar biasa. Kita nyaman dengan semuanya.
“Kamu
dengar itu?”
“Ya?
Kamu suka suara ombak?”
“Dari
mana kamu tahu?”
“Tidak,
aku hanya berharap bukan hanya aku saja” Aku menatap matamu yang sipit itu, aku
ingin menyelam di dalamnya. Kamu menatapku balik, hening dan perlahan kita
berciuman di bawah ribuan bintang. Terima kasih Pram yang menjadi alasan kamu
menyapaku. Kemudian kita terdiam lama, ada suasana awkward setelahnya.
“Itu”
Katamu menunjuk pada salah satu gugus bintang. “Lyra”
“Seperti
tokoh di Golden Compass”
“Dia
hebat, pengawalnya seekor beruang besar”
“Sayang,
ga ada kelanjutannya” Sesalku.
“Loh,
bukannya sudah tamat?”
“Itu
trilogy. Novelnya trilogy. Seharusnya ada kelanjutannya”.
Aku
semakin suka menghabiskan malam bersamamu. Baik malam-malam kemarin maupun
maalam yang sekarang. Untuk pertama kalinya aku merasa aku tidak aneh ketika
ngobrol dengan seseorang tentang sesuatu yang aku suka, sepertinya kita
menyukai hal yang sama bukan?. Kita seperti
hopeless romantic yang sedang dipertemukan, kita larut dalam suasana hangat di
bawah bintang-bintang, hanya kita berdua di helipad di tengah huutan di pinngir
pantai dengan suara ombak yang terdengar sangat jelas. Kita membicarakan
apapun: tentang buku-buku, tentang mimpi-mimpi, tentang masa lalu dan mencoba
memaafkannya hingga tentang hal-hal yang tidak penting sama sekali, seperti
kita lahir di tanggal yang sama dan mempunyai zodiac yang sama. Kita seperti
saling memantulkan-seperti matahari senja yang memantul di laut-seperti saat
itu.
Hingga
tiba malam terakhir karena esok kapal sudah mejemput dan membawa kita pulang,
kembali ke kehidupan masing-masing. Dan perasaanku semakin besar terhadapmu.
“Nama
bintangnya seperti meja pernikahan”
“Itu
Altar, bintangnya namanya Altair” Katamu menjelaskan. Lalu kamu tiba-tiba
terdiam lama. Aku
menatapmu, siap untuk mendengarkan ceritamu lebih lanjut.
“Del?”
Ucapmu ragu
“Ya?’
“Aku
sudah cerita belum?”
“Apa?”
“Aku in open relationship” Aku menatapmu serius.
“Kamu
punya sudah punya mate?” Kamu menatapku lesu.
“Ya,
maka dari itu maafkan aku. Aku suka sama kamu!” Ada rasa kecewa oleh kebenaran sederhana
yang sudah terlambat dikatakan. Apakah memang sesederhana itu atau rumit! Aku
menggigit bibir bawahku, mataku sudah sedikit terasa panas. “Aku juga suka
kamu”. Lalu ada jeda yang lama dan aku telah terluka dan tersadar di saat yang
bersamaan. Cinta tak pernah datang tepat waktu di saat aku berpikir menemukan
orang tepat. Kamu menyesal atas semuanya. Kemudian aku patah hati, sebagai
bunga aku layu, bahkan sebelum waktunya bertumbuh. Kamu memelukku di malam
terakhir itu di Helipad di tengah hutan di pinggir pantai di bawah ribuan
bintang yang kita habiskan bersama menatapnya selama beberapa malam.
“Aku
suka sama kamu. Aku bahkan ga minta itu, tapi ini aku, aku punya mate. Kita emang
open relationship. Maaf kalau kamu ga bisa nyerna itu” katamu.
Dan
masih haruskah aku berterima kasih pada Pram yang menjadi alasan sapaan
pertamamu kepadaku? Aku benci mengakui bahwa aku jatuh cinta, jatuh cinta dengan
cerita bagaimana kita berjumpa dan Pram adalah alasan sapaanmu pada senja kala
itu. Dan pastinya, aku jatuh cinta dengan ciuman perlahan di bawah gugusan bintang kala itu, di Helipad tengah hutan di pinggir pantai. Sesederhana itu semesta, sesederhana itu bahagia dan sesederhana itu terluka.