Movie Review: Malila. Cinta Ga Cuma Buat Hetero

By mayasithaarifin.blogspot.com - Rabu, Oktober 16, 2019


Ps: Review bukan untuk homophobia!
*spoiler alert.
Nonton film homo, sebagai hetero biasanya aku suka geli sendiri kalo Ada adegan mesra atau dewasanya. Tapi film ini anomali. Aku nangis sesengukan bahkan untuk adegan mesum yang begitu haru dan nguras emosi. Tentu saja, film ini ga masuk bioskop! Tayang cuma di art-house. FYI, selain di art-house Denpasar, film ini ditayangin di Salihara. Selain itu masih belum. Iyah, film ini ekslusif sekali, karena temanya sangat sensitif, tentang homo-relationship dan bagaimana menjadi monk, biksu Buddha.

______


Malila berarti melati. Menurut pengakuan salah satu producer Malila, John Badalu, film ini dibuat selama kurang lebih lima tahun. Yang bikin lama tentu saja pengumpulan dananya dan sampai ganti editor dua kali demi hasil yang memuaskan. Dari awal sutradara tau film ini ga bakal masuk bioskop secara masiv, karena ga bakal lulus sensor, jadi film ini mau gamau harus diikutkan dalam festival film. Eh, tapi, di negaranya, Thailand, film ini diterima dengan baik, mungkin karena disana sudah lebih terbuka dengan orientasi seksual. Lucunya, aktor yang memerankan malah seorang heterosexual. Hahaha. Dan usaha ga mengkhianati hasil karena toh film ini salah satunya masuk Busan dan Singapore film festival.
Pich mengidap kanker dan divonis sebentar lagi akan mati. Masyarakat di sana percaya bahwa penyakit parahnya adalah karma buruk dan kutukan karena ibunya adalah seorang penyihir hitam. Dia mempunyai kekasih bernama Shane, seorang pemabuk yang trauma dengan kematian anak perempuannya diilit ular piton. Berbeda dengan Shane, Pich menerima nasib sedih dengan membuat Baisri, karangan bunga melati untuk merayakan kehidupan dan kematian dalam upacara. Setiap kali dia merasa sakit dia akan membuat Baisri, maka dia akan merasa lebih baik. Pada suatu hari Pich bilang ke Shane: Jika dia mati apakah Shane mau menjadi biksu Buddha untuknya?. Shane menjawab: Apa dia mau Shane untuk melakukannya?. Pich menjawab lagi: Itu terserah Shane!. Dalam kepercayaan mereka salah satu cara memperbaiki karma atau dosa masa lalu adalah dengan menjadi biksu.
Film ini, membuat saya dan para penonton saat itu dibikin haru oleh keintiman antara Pich dan Shane. Film ini ga banyak dialog. Tapi, begitu ada dialog itu menjadi sangat romantis. Pada scene bercintapun, film ini berhasil membuat saya terharu, bagaimana saat Pich menunjukkan bekas luka operasinya kepada Shane dan itu biru sekali. Atau bahkan saat adegan Pich membuat bunga dengan sangat gemulai sambil mengajarkan Shane kalau kehidupan itu seperti bunga melati, sangat rapuh.
Pada akhirnya, Pich mati saat membuat Baisri untuk Shane yang akan segera menjadi biksu. Shane bermeditasi ke hutan dengan membawa semua kesedihannya. Kenapa kehidupan ini kejam sekali, mengambil orang-orang yang kita sangat sayangi?. Ditemani biksu senior, Shane diajari bagaimana bermeditasi; bagaiman cara memilih tempat bermeditasi di bawah pohon besar, bagaimana cara mencari sedekah, menghitung kunyahan makan dan yang paling penting adalah bagaimana bermeditasi dengan mayat. Kebetulan di hutan tempat mereka bermeditasi adalah hutan yang mana sering ada mayat karena ga sengaja tertembak oleh tentara yang sedang bertugas di daerah perbatasan. Sanchai menjelaskan kepada Shane, saat bermeditasi dengan mayat, dia harus duduk di sebelah mayat dan memperhatikan detailnya, menghapalnya, lalu menutup mata. Kalau lupa, ya, buka mata lagi, perhatikan lagi, hapalkan lagi kemudian tutup mata, begitu seterusnya. Sanchai bilang, mayat itu mungkin akan mengingatkan dia dengan orang-orang yang Shane kenal dalam hidupnya. Mayatnya bukan sekedar mayat, lebih ke bangkai yang dipenuhi belatung. Ternyata untuk jadi biksu Buddha itu ga gampang, gaes, bukan cuma duduk di bawah pohon, bukan baringan!. Dan, justru saat meditasi dengan mayat adalah dimana Shane berdamai dengan kematian itu sendiri kemudian terlahir kembali.
Film ini benar-benar filosofis sekali, sama sekali ga bosenin, dan berhasil membawa mood saya sampai akhir. No wonder, di Thailand sendiri film ini memenangkan tujuh dari dua belas nominasi. Kalau sebelumnya film favorit pertama saya adalah silence of the lamb, kini film itu bergeser jadi nomer dua setelah film Malila ini. Film ini benar-benar mengajarkan saya kalau kehidupan itu adalah penghayatan dan kasih sayang terhadap diri sendiri dan alam sekitar termasuk manusia, binatang dan tumbuhan.
Sayangnya, film ini aku ga saranin kalo kalian homophobia. Lagi, karena film indie semacam ini hanya menyasar niche, mungkin bagi kalian yang suka film bisa datang ke micro-cinema atau art-house setempat bisa req buat screening film ini. Film ini sangat worth to watch kok. 



  • Share:

You Might Also Like

3 komentar

  1. Wah aku baru tau tentang micro-cinema atau art-house. Bener bener baru tau.
    Kemana aja ya ?
    Jadi ada beberapa film yang gabisa naik ke bioskop dan hanya bisa di puter di micro-cinema atau art-house ya ?
    Salah satunya film malila ini ?
    berarti gaada di semacam indoxxi gitu ya ? yang streaming online.

    baca spoilernya aja udah bayangin ceritanya kayak apa. Kalau sampe masuk bioskop di Indonesia, bwuuuh ramenya kayak apa. Pasti semuanya teriak2 film ini haram. Ckckck.
    Padahal ya, film itu ga semata mata "mengajarakan". Misal kayak film bertema homosex begini ya bukan berarti mengajarkan dan melegalkan.

    Sama kayak ramenya film dua garis biru kemarin, film itu bukan untuk mengajarkan untuk having sex before married.Tapi ambillah pelajaran2 yang bisa diambil dari film itu, bukan semata2 memboikot padahal nonton saja belum :')

    BalasHapus
  2. Menarik filmnya :) tapi memang bagus untuk tidak dikonsumsi secara umum, sehingga penontonnya sangat selektif, yang berpikiran jernih melihat sesuatu, karena di luar sana banyak orang dengan pikiran terbatas yang tak layak naik level menonton hasil karya seni

    BalasHapus
  3. Gw kok jadi pengen nonton yah??

    Tapi gak tau mau nonton di mana.

    BalasHapus