Kucing
Yang Bernama Pacar
Nata
masih ingat saat Dinda datang kala gerimis sore itu. Tiga hari sebelumnya, komunitas
peduli hewannya menemukan anak kucing yang terlantar di jalan menuju pantai
Nyang Nyang di semak-semak dengan badan yang dipenuhi permen karet, dia begitu
ringkih. Seorang temannya, Ani menghubungi Dinda apakah dia mau mengadopsinya.
Dengan senang hati Dinda bersedia, dan anak kucing itu diobati terlebih dahulu
oleh Nata di kliniknya.
“Mmm..
dokter Nata ya?” Sapa Dinda penuh senyum. Senyumnya sangat manis dan hangat.
“Pacarku
mana? Uda sehat kan? Kata Ani, aku disuruh ngambil ke sini. Bener kan?”
Lanjutnya. Nata mengerutkan keningnya, tidak mengerti, lalu dia menggeleng.
“Pacar?”
Tanya Nata. Dinda mengangguk pasti.
“Iyah,
anak kucing yang kemaren ditemukan dan perlu diadopt. Kata Ani dia jantan, ya
udah aku kasih dia nama Pacar” Jelas Dinda. Nata memijit kepalanya yang tidak
sakit sambil tersenyum. Bukan hanya wajah Dinda yang lucu, tapi orangnyapun
lucu. Hatinya seperti terasa begitu akrab dengan Dinda, padahal ini adalah kali
pertama mereka bertemu. Terima kasih Ani telah membuat Dinda datang tiba-tiba
ke kliniknya, ucapnya dalam hati.
“Oh
uda! Mau dibawa sekarang?” Kata Nata. Dinda mengangguk. Nata mengajak Dinda ke
ruangan dimana Pacar berada. Pacar, seekor anak kucing hitam jantan yang
mungkin dibuang oleh pemiliknya dan umurnya kira-kira masih satu bulan.
Kondisinya sangat mengenaskan saat ditemukan. Kondisinya sangat lemah dan
sekarat, mungkin karena terjebak permen karet dan sudah berhari-hari tidak
makan dan sempat diguyur hujan.
“Dia
botak. Bulunya aku cukur, karena lengket oleh permen karet” Jelas Nata. Dinda
menyolek-colek Pacar dari lubang kandang. Pacar menempelkan wajahnya manja.
“Biarin
aja botak, yang penting ganteng. Yak an, Pacar kesayangan aku” Saut Dinda. Nata
tersenyum lagi.
Tiga
hari lalu, saat Ani menghubungi Dinda, menanyakan tentang apakah dia mau
mengadopsi anak kucing, dan menjelaskan bagaimana keadaanya si anak kucing,
tanpa pikir panjang dia menyetujuinya. Dia sudah lama menginnginkan piaraan.
Mamahnya sudah mengajaknya ke petshop terdekat untuk memilih binatang atau
kucing apa yang dia mau. Nyatanya ngga ada yang menarik perhatiannya. Tapi begitu
Ani menawarkan dan menjelaskan, bahwa mungkin si kucing akan menjadi sangat
jelek karena akan dicukur dan mejadi botak, Dinda bilang itu ngga apa-apa. Dia
sudah merasa tertarik bahkan sebelum melihatnya. Apakah itu namanya cinta? Seperti
halnya Mamah yang sudah mencintainya, bahkan sebelum melihat dia lahir ke
dunia. Maka dari itu langsung saja dia beri nama si anak kucing itu Pacar.
Esoknya, team dari komunitas peduli hewan datang ke rumahnya untuk menyurvei
apakah dia layak untuk memelihara hewan piaraan, dan dinilai layak. Dinda saat
itu sangat senang dan ngga sabar untuk segera bertemu dengan Pacar, ingin
segera menjemput Pacar di klinik dimana dia diobati, ingin lekas diabawa pulang
dan dipeliharanya dengan sayang.
“Kenapa
namanya Pacar?” Tanya Nata penasaran.
“Karena
aku ngga punya pacar, tapi sekarang aku punya Pacar” Jawab Dinda dan cukup
membuat Nata tertawa. Dia suka Dinda. Sungguh. Dia belum pernah merasakan ini
sebelumnya. Dari awal melihat Dinda dia sudah tertarik, selain dia cantik,
senyumnya manis dan hangat, suaranya lucu dan sikapnya.. oh sungguh, dia
benar-benar jatuh cinta dengan Dinda.
“Oke,
jadi kamu mau bawa pulang dia sekarang? Kamu bawa tas kucing? Atau kandangnya,
mungkin?” Tanya Nata. Dinda menggeleng.
“Kata
Ani, klinikmu tutup di jam enam dan kamu bawa mobil, dan kata Ani lagi, rumahmu
melewati rumahku. Jadi, tadi aku ke sini naik ojek online, niatnya sama Pacar
nebeng sama kamu sekalian. Jadi gitu.” Jelas Dinda. Nata mengangguk sebagai jawaban Ok. Hah, senangnya bisa
nganterin Dinda pulang. Sorak Nata dalam hati.
Dan
saat itu, gerimis yang perlahan menjadi hujan, senja dan jalanan Bypass cukup
macet, Nata mengantarkan Dinda pulang, tentunya bersama Pacar. Mereka sempat
bertukar nomer whatsapp dan saling mengikuti di akun instagram. Nata bilang,
Pacar masih perlu perawatan beberapa kali, karena ada luka di kaki belakang
sebelah kanan cukup parah. Untuk masalah biaya sampai si Pacar sembuh gratis. Karena
itu adalah program dari komunitas peduli hewannya. Ani adalah adik tingkatnya
di kampus tempat dia belajar dulu, dan kata Dinda, dia dan Ani adalah teman
saat di sekolah menengah bawah dulu. Dinda banyak cerita saat di mobil, dia
sangat cerewet dan lucu menurut Nata. Ada saja yang dibahas, termasuk Film. Pinguin Madagascar yang sudah berkali-kali dia
tonton tapi ngga pernah bosan.
“Mereka
itu lucu banget, dok” Cerita Dinda antusias. “Aku tuh suka menghayal, aku
berharap pas di chapter terakhir, saat dilaserkan laser untuk membuat imut
kembali penguin-punguin, aku terkena lasernya, biar aku jadi imut seperti
mereka” Lanjut Dinda. Nata tertawa. Dia pengin bilang ke Dinda, bahwa dia ngga
butuh laser itu karena dia sudah imut, tapi yang keluar dari mulutnya hanya, “Terus?”
Tanya Nata antusias.
“Ah
cape, haus. Minum dululah” Kata Dinda, mengambil botol air Tupperware kecil
dari tasnya, meminumnya lalu menarik napas. Nata hanya menggeleng, tersenyum
melihat tingkahnya.
“Kata Ani, makanya aku ga punya pacar.
Abis masih suka Pinguin Madagascar” Keluh Dinda setelahnya.
“Hahahaha. Ani ngaco”
“Iyah, padahal ga punya
pacar belum ada yang menarik aja. Eh ngga tau juga”
“Hahahaha…
jadi kamu sibuk skripsi nih sekarang kayak si Ani”
“Ga, sibuk poto-poto doang sih sekarang. Lagi suka aja, masih males garap,
belom ada inspirasi”
“Kelakuan
anak PS Fotografi banget ya” Kata Nata menghakimi. Dinda tersenyum dan menjawab
“Ngga semuanya, mungkin aku aja yang pemalas. Hehehe”.
Kemudian
mereka menjadi akrab. Keadaan Pacar dan lukanya segera membaik, karena Dinda
merawatnya dengan baik dan sangat mengikuti saran-saran dari Nata. Kecuali bulu
Pacar yang sangat lama tumbuh. Sebenarnya Mamah jijik dengan Pacar yang botak,
tapi entah, dia pasrah, karena Dinda begitu sayang dengan Pacar. Bahkan Pacar
setiap malam harus tidur di kamar Dinda. Si Pacar bisa bebas nakal saat Dinda kuliah
saja. Mamah suka heran dengan Pacar, dia terlihat begitu pasrah kalau Dinda
suka memeluknya gemas tanpa perlawanan.
“Nanti
Pacar bisa mati gegara ga bisa napas kamu aniaya” Tegur Mamah, tapi Dinda ga
pernah peduli dan selalu menyangkal “Siapa yang aniaya Pacar sih, Mah? Ini itu
pelukan sayang tau”.
Dinda
anak tunggal, dari orang tua tunggal. Papahnya sudah lama meninggal saat dia
masih duduk di bangku SMA dulu. Mamahnya mempunyai usaha Wedding Organizer yang
cukup ternama, yang membuatnya tidak pernah kesusahan dalam masalah finansial meskipun
statusnya single parent.
Dan
Nata, perasaannya semakin hari semakin besar dengan Dinda. Maka dari itu,
semakin Pacar besar dan lincah serta sehat, semakin jarang Dinda berkunjung ke
kliniknya. Membuat Nata sangat rindu dengan Dinda. Dia sering kepo akun insta
Dinda atau sekedar say hello via whatsapp.
Sebenarnya
dia ingin melakukan aksi PDKT ke Dinda, seperti mengajaknya pergi nonton atau
sekedar makan malam misalnya. Tapi dia ngga mempunyai nyali untuk melakukannya.
Dan sepertinya Dinda ga ada perasaan lebih ke dia, Dinda seperti ngga punya
perasaan yang sama terhadapnya. Sikapnya Dinda ga berubah, masih sama saat
seperti pertama kali mereka bertemu dulu, yang kalau bertemu masih rame dan
suka banyak cerita, termasuk masih suka cerita bahwa dia masih suka Pinguin
Madagascar.
Nata
pengin kepo tentang Dinda ke Ani, tapi malu. Dia sangat bingung dan merasa
serba salah mau bagaimana, dia ingin Dinda.
Hingga
suatu hari Dinda menelponnya.
“Dokter
Nata, besok aku wisuda. Dokter bisa datang ga sebagai dokter yang udah baik
hati ngerawat Pacar?”. Ah, mimpi apa Nata semalam. Seperti mendapat Durian
runtuh.
“Oh
bisa kok. Dimana? Jam berapa, Din?”
“Nanti
aku wassap ya tempat, alamat dan jamnya” Jawab Dinda.
“Oke”
Lalu,
hari itu adalah hari yang membahagiakan bagi Dinda, setelah kuliah selama enam
tahun. Dengan perjuangan keras melawan rasa malas menyelesaikan skripsi. Tapi
hari itu yang paling bahagia adalah Nata. Dia merasa terhormat mendampingi
Dinda, yang di acara itupun dia tersenyum lucu bahwa Dinda dengan bangga menggendong
Pacar yang mengenakan jas, yang dibuat khusus untuk acara wisuda saat itu. Nata
hanya tersenyum. Mamah hanya menggeleng, maklum dengan kelakuan Dinda yang
sangat menyayangi Pacar.
“Gitu
dah, dok, kelakuan Dinda, ngga mau lepas dari si Pacar. Padahal setelah dua
tahun dari dibawa ke rumah dulu, si Pacar masih juga burik, ga punya bulu,
dielus-elus juga males, abis kasar, bulunya kependekan, item pula” Curhat
Mamah.
“Hahaha”
Hanya itu saja tanggapan dari Nata. Nata memberi Dinda sebucket bunga mawar
merah. Tolong dicatat, mawar merah, sebagai tanda bahwa dia cinta Dinda dari pertama
dulu, dari dua tahun lalu, saat Dinda datang ke kliniknya di sore yang gerimis.
Dan saat Dinda menerimanya, dia hanya mengucapkan terima kasih saja. Sepertinya
dia ngga ngerti bahwa itu kode Nata. Dia seperti nampak biasa-biasa saja.
Di
akhir acara, si Ani datang.
“Yah
Ani, kenapa terlambat. Uda mau pulang. Tapi kita mau lanjut di rumah,
bakar-bakar ikan sama dokter Nata, sama yang lainya juga” Kata Dinda.
“Duh
Din, sorry, tadi aku cukup sibuk sama kerjaan” Kata Ani.
“Hi,
dok. Gimana kabar?” Sapa Ani. “Baik” Kata Nata.
“Ya
udah, lanjut di rumah, yuk. Si Pacar uda ga sabar makan ikan. Iya kan Pacar?
Mmm.. Pacarku sayang” Kata Dinda sambil mengelus kepala Pacar. Pacar hanya diam,
menatapnya sayu, manja, tidak mengeong.
“Hah,
Pacar mah modus. Kalau Dinda ngga ada galak dia, An. Nakal, suka berantakin
rumah. Giliran Dinda ada sok kalem, sok polos” Kata Mamah kesal sambil memukul
pelan kepala Pacar. Pacar mengeong galak. Dinda cemberut.
“Apa
sih, Mah? Usil aja loh!” Protes Dinda. Ani dan Nata hanya tertawa melihat
kelakuan mereka.
_____
Dan
sekarang, Dinda datang dengan muka paling sedih dengan membawa pacar yang penuh
darah di sore yang gerimis, sama seperti saat kali pertama dia datang, bedanya
tidak ada senyum hangat disana, hanya ada kesedihan. Nata cukup kaget, dan
langsung mengerti, segera dia membawa Pacar ke dalam ruangan, meminta Dinda
menunggu di luar. Satu jam kemudian Ani datang, menyapa Dinda sebentar kemudian masuk
ke dalam ruangan Nata. Dinda sangat bingung. Dia hanya bisa berharap Pacar
baik-baik saja.
“Aku
pulang, dan dia sudah ada di sana, Sis” Kata Dinda membuka percakapan dengan
Siska, recepsionist di Klinik Nata. Siska mengelus bahunya. Siska ngga tahu
harus menanggapinya apa, dia sangat tahu Dinda yang sangat sayang dengan Pacar,
dan dia juga tahu Nata yang diam-diam suka Dinda, dari dulu sampai sekarang.
“Dia
uda tergeletak penuh darah, napasnya uda tersenggal-senggal, ngga tahu dia uda
berapa lama disana, keujanan” Kata Dinda lagi sesenggukan. “Lima tahun kita
sama-sama. Udah banyak hal yang uda kita lakuin sama-sama. Aku sayang banget
sama dia, Sis” Lanjut Dinda.
“Pacar
juga sayang sama Dinda kok. Pacar bakal baik-baik saja” Hanya itu yang keluar
dari mulut Siska.
Pukul
Sembilan Nata dan Ani kelkuar dari ruangan. Nata menggeleng, memberi kode ke
Siska bahwa Pacar ga selamat. Pacar terluka sangat parah, jeroannya hancur,
mungkin motor melindasnya.
Siska
pergi saat Nata menghampiri Dinda dan duduk di sebelahnya. Dinda menoleh kea
rah Ani yang masih berdiri lemas di depan pintu ruang, dimana mereka sudah
berusaha menyelamatkan Pacar, mengoprasinya, dan pacar ngga selamat, Ani hanya
bisa menggelengkan kepalanya sedih. Dan Dinda mengerti apa maksudnya. Dinda
menangis, hatinya remuk, semua kenangan tentang Pacar langsung berkecamuk dalam
kepalanya.
“Apa
kamu butuh pelukan?” Kata Nata menawari. Dinda tidak menjawab, dia langsung memeluk
Nata sambil menangis sesegukan. Di luar hujan sangat deras sama seperti air mata
Dinda. Nata membalas pelukan Dinda, membiarkan air mata Dinda membasahi bagian
bahu jas putihnya. Di saat yang sama, Nata ngga tahu, sebenarnya yang butuh
pelukan siapa? Dia atau Dinda?.
“Pacar
sayang sama kamu, Din. Seperti halnya aku sayang kamu dan semua sayang kamu!”
Nata ngga peduli, apakah dia mengungkapkan perasaanya di saat yang tepat atau
tidak. Hanya itu yang bisa dia katakana saat ini. Dinda masih menangis dalam
pelukan Nata. Dan di luar, hujan masih deras.
0 komentar