Secangkir Latte dan kamu, serta hal lainnya yang biasa saja.
Coffeshop
itu Litya temukan secara tidak sengaja
sepulang dia jogging sore hari. Cahaya lampunya remang-remang, suasana terlihat
hangat, tempatnya tidak terlalu besar, hanya ada beberapa kursi
disana dan segelintir orang yang duduk, mereka sedang membaca buku dan ada terpaku di depan laptopnya masing-masing,
ditemani secangkir kopi.
Hal
pertama yang terlintas di kepalanya adalah “Oh” kemudian lewat begitu saja.
Hingga suatu malam di hari dimana dia patah hati, dia memutuskan untuk singgah
di coffeshops tersebut, Tukang Kopi, begitu yang tertulis pada plang yang
menggantung di depan toko.
“Mau
pesen apa, Kak?” Sapa Barista yang berjaga di sana. Litya mengambil buku menu
dan membolak-balikkan halamannya. Dia belum pernah minum kopi sebelumnya,
terkesan pahit dan tua, pikirnya. Dia membenarkan tata letak poninya yang tidak
berantakan.
“Mmm…
yang enak apa?” Tanyanya ragu.
“Semua
enak kok, Kak!”
“Menurutmu?”
“Apa
ya?” Si Barista tersenyum bingung.
“Aku
nurut kamu deh!”
‘‘Hahaha, OK” Sebenarnya si Barista sedikit bingung akan
buat apa. Litya mengambil duduk tepat di depan bar sambil menatap si Barista.
Si Barista terlihat kikuk Litya perhatikan, tapi Litya tidak peduli, dia bahkan
tidak benar-benar memperhatikan si Barista, tatapannya kosong dan entah
imajinya sedang ada dimana. Litya memangku tangannya sambil memainkan
jari-jarinya di atas meja. Dia teringat mantan. Dia hanya sedang rindu kencan.
Kapan
terakhir kali dia kencan? Terakhir bahkan tidak bisa dia bilang bahwa itu adalah kencan. Tepatnya
dua minggu lalu saat Riki menghubunginya, mengajak dia ketemuan dia suatu
restaurant cepat saji di Mall di pusat kota Denpasar. Ragu-ragu dia membaca
pesan Riki.
Riki,
mantan dia sewaktu SMA dulu yang dia tidak benar-benar tahu alasan mereka putus
saat itu apa. Tiba-tiba saja dia sudah disibukkan kuliah, Riki pun juga sama. Dan
tiba-tiba saja mereka sudah memiliki pacar baru, lalu putus dengan pacar-pacar
mereka dan semua berjalan begitu saja.
Tidak
ada yang berubah dari Riki, dia tetap
keren seperti saat SMA dulu dan Litya tetap menjadi anak biasa saja,
dari dulu memang begitu. Litya hanya begitu yakin mereka jadian sebagai pacar
ga lebih karena dia bisa Riki manfaatkan untuk mengerjakan PR-nya atau sumber
contekan saat ulangan. Selebihnya tidak ada, tidak ada rasa untuk Litya. Litya hanya naksir
sendirian dan Riki memanfaatkan.
“Kamu
mau pesen apa?” Tanya Riki sambil menyodorkan buku menu ke Litya.
“Kamu
pesen apa? Aku sama!” Kata Litya singkat. Dia hanya bingung dan bertanya-tanya,
apa masih ada rasa yang tersisa untuk Riki di hatinya?.
Riki
mulai membuka percakapan yang Litya tidak yakin dia benar-benar memperhatikan,
dia sibuk meraba-raba rasa di hatinya. Dia
hanya meresponnya dengan mengangguk dan tertawa kecil seperlunya. Kenapa semua
terasa basi dan Litya merasa jengah?.
Dari
dulu masih sama, yang Riki bicarakan pasti tentang dirinya, hidupnya yang
begitu kaya dan dia yang begitu keren. Semua masih sama, Riki selalu
membicarakan tentang bisnis ayahnya yang semakin maju dan dia yang masih suka
membantu pekerjaan ayahnya, bahkan dia bercerita dia berhenti kuliah di
semester pertama karena merasa kuliah dan gelar tidak berguna bagi hidupnya.
“Iyalah, Lit. Kamu kuliah buat apa?”
“Buat dapet ijazah mungkin. Kerja?’ Jawab Litya asal.
“Aku
ga perlu cari kerja seperti kamu yang memerlukan ijazah. Aku hanya tinggal
melanjutkan bisnis ayahku saja. Benar kan?”
“Oh.
Mungkin Iyah!” Jawab Litya sekenanya.
“Aku
juga males kerja sama orang. Aku maunya aku yang memperkerjakan orang!. Bener
ga?”
“Iyah,
kamu benar” Jawab Litya lagi sambil menyendokkan makanan ke mulutnya. Litya
hanya berpikir untuk membenarkan saja semua yang Riki katakan agar semua
berjalan cepat. Dia ingin lekas kembali ke rumah dan menyelesaikan laporan
kantor yang musti dia kumpulkan akhir pekan ini, yang sebenarnya untuk Litya dia hanya butuh
setengah jam untuk menyelesaikan semuanya. Kalaupun dia kerjaan saat sudah dekat deadlinepun bisa. Dia hanya sedang bosan duduk
dengan Riki.
“Kamu
masih gitu-gitu aja yah, Lit!” Litya menaruh sendoknya dan meminum minumannya.
Lalu menatap Riki serius. Terdengar sesuatu yang menganggu di pertanyaan itu.
“Gitu-gitu
bagaimana?” Tanya Litya serius.
“Seharusnya
kamu merubah penampilanmu!’’ Jawab Riki santai. Seketika Litya sadar. Tidak ada
rasa yang tersisa di hatinya untuk Riki. Riki yang dulu begitu dia puja dan dia
banggakan, karena bisa berpacaran dengan cowo paling keren seantero sekolah dia
dulu. Yang dirasakan dia kini, dia sadar dia dulu bodoh, kenapa bisa suka
dengan Riki yang dari dulu Litya tahu bahwa dia begitu arogan sebagai cowo.
Selanjutnya
Riki berbicara banyak tentang pendapatnya masalah berat badan
yang cocok sesuai tinggi badannya yang hanya seratus limapuluh lima, Litya sedikit curvy, tentang baju yang Litya pakai
terlalu formal, make up Litya yang terlalu minimalis, tata rambut Litya yang
seperti Dora The Explorer, atau kacamata yang seharusnya dia ganti dengan
softlen misalnya. Semua itu membuat Litya jengah. Riki bahkan ga tahu, bahwa
sebelum berangkat tadi dia sudah berdandan mati-matian, seperti hati-hati saat
menggenakan ayeliner dan lipstick agar tidak belepotan, memilih baju paling feminim
dan manis yang ada di tumpukan baju lemarinya, terus berkaca lama-lama dan
menanyakan kepada Bunda bagaimana penampilannya. Bunda bilang “Kamu OK kok!” Dan kini Riki sedang mengkritik penampilannya yang
seolah-olah masih cupu dan ga OK?.
“Rik,
kamu tahu sesuatu?’’
“Apa?”
Riki sedikit kaget Litya tiba-tiba memustuskan pembicaraannya.
“Aku
ga mau terlihat cantik tapi otakku bodo’’ Tegas Litya kemudian melambaikan
tangannya memanggil waitress meminta bill. Litya mengambil uang dan membayar
semua tagihan beserta tipnya, lalu beranjak pergi meninggalkan Riki.
”Lit,
Lit, kok kamu gitu sih?” Kata Riki bingung. Dan kejadian itu cukup membuat
Litya kesal selama berminggu-minggu.
Setelah
kejadian itu, Riki bahkan tidak pernah memhubunginya lagi. Dia hanya menjadi
yang pertama melihat insta stories Litya di akun Instagramnya. Dan Litya tidak
peduli, dia alergi type cowo seperti Riki: ganteng, keren, kaya, tapi sombong
dan otaknya sungguh, aarrgghhhh.
“IIIHHHH
KESEL” Kata Litya histeris sambil mengetuk cangkir kopinya gemas, dan kopipun
tumpah ke meja. Seketika semua pengunjung yang hanya empat orang di tempat itu
menoleh ke arahnya. Si Barista yang ada di depannya cukup kaget.
Kemudian
seorang cowo setinggi
seratus delapan puluh enam centi meter dengan tubuh altetis menggunakan sepatu
running datang menghampiri si Barista. Sepertinya dia baru saja selesai olah
raga.
“Ada
apa, Kris?’’ Si Barista yang bernama Kris itu bingung mau menjawab apa sambil memberi
kode ke arah Litya.yang sedang menutupi mukanya dengan tangan. Dia terlihat
kacau.
“Ada
yang bisa dibantu, Kak?’ Tegur cowo itu.
Litya mendongak kepalanya dan melihat cowo di depannya. Dia seperti ga
asing. Litya sempat lihat mungkin saat dia sedang jogging kemaren, kemarennya
lagi, atau bahkan sore tadi mereka ga sengaja berpapasan. Litya bingung dan
kikuk.
“A,
a, a, ga ada” Jawabnya gagap. “Ini kopinya apa yah?’ Lanjutnya kikuk.
“Latte”
Jawab Kris. Si cowo itu mengambil kain dan melap tumpahan kopi di atas meja
Litya yang tepat menempel dengan meja bar. Litya menggigit bibir bawahnya,
sungkan.
“Maaf
ya” Sesalnya. Cowo itu tersenyum ramah dan menjawab “Iyah, ga apa!”.
Litya
mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Dan ternyata Litya baru sadar ada rak rak buku yang menempel di
tembok coffeshop tersebut.
“Buku
siapa?” Tanyanya.
“Oh,
buku saya!” Jawab itu cowo masih mengelap tumpahan kopi Litya.
“Aku
juga punya banyak di rumah. Tapi novel”
“Iyah
di sini juga sama, kebanyakan novel juga” Kemudian cowo itu kembali ke belakang bar menaruh lap.
Litya masih memandang rak-rak buku di dinding toko.
“Kamu baca 1Q84 Murakami?”
“Hahaha, iyah. Suka Murakami juga?’’ Litya menoleh ke arahnya lalu mengangguk
mantap.
“Surealisme!”
Jawab Litya sambil tersenyum.
“Kafka
juga
dong?”
“Iyah,
aku suka Little Fabelnya”
“Gregor
Samsa?
“The
Metamorphosis”
“Kecoa”
“Novel dia yang Kafka juga ada”
“Iyah, aku suka itu, Kafka On The Shore” Dan semua terasa lebur. Cowo itu
menyodorkan tangan kanannya ke arah Litya. Litya menyambutnya.
“Litya”
Kata Litya.
“Bara”
Katanya penuh senyum. Diam-diam Bara sudah menunggu momen ini sejak lama.
Sejak Bara suka melihat Litya sedang baca buku di kursi pojok Lapangan Renon, atau Litya yang suka jogging di sana hampir tiap sore. Dia ingin menyapa, tapi Litya
terlihat begitu dingin dan sendiri. Dan kini
dia menyalami tangan Litya. Selanjutnya suasana terasa akrab dan hangat.
Litya
merasa percakapan dengan Bara ditemanin dengan Latte yang Kris ganti, membuat
Litya menjadi yang biasa saja sebagai seorang yang biasa saja. Kini kopi bagi
Litya tidak lterasa pahit dan terlalu tua lagi, ada rasa gurih di sana, sesuatu
yang creamy saat dia sesap. Mungkin karena ada Bara salah satunya yang membuat dia suka
saat ini.
7 komentar
Ok Lita dua minggu bentrok dengan Riki dan akhirnya menemukan Bara pria yg tak asing di jiging tp malu menyapa, entahlah bisa semudah itu melupakan Rifki atau emang pd dasarnya emang tak suka Riki
BalasHapusAku mau dong ikutan minum kopinya hehe
BalasHapusbagus ceritanya, tapi agak aneh ya sama kata inih “Iyalah, Lit. Kamu kuliah buat apa?” huahaha :D
BalasHapusHahaha udahlah abisin aja cowo macem riki itu! Litya masih manis tuh, untung bkn ke aku ya. Kalo ke aku hemm udah kopi kalo ga garpu udah nangkring di mukanya si cowo haha
BalasHapusKurang ajar emang kalo ada cowok yang mengkritik penampilan. Semua perempuan pasti selalu berusaha berpenampilan menarik.
BalasHapusTapi entah kenapa ku pun tak suka dengan sikap riki yang selalu menceritakan hal tentang dirinya.. membosankan.
Wqwq. Dimanfaatin. Ini cerpen ada curhatan terselubungnya, ya? :p
BalasHapusPinjem buku Murakami-nya, dong. Baru baca yang Norwegian Wood sama kumpulan cerpennya aja. :( Dan Metamorfosis pun cuma punya e-book, bahasa Inggris pula. Pusing bacanya sebab belum mahir dan lancar. Belum ada lagi buku terjemahan yang tersedia di toko buku. Pfft.
Wah, baru yang kedua flow-nya langsung jauh lebih ngalir daripada yang pertama (Star Cluster). Sip!! :)
BalasHapus