Hello, Guys :)
Ini tulisan awalnya aku ikut sertakan dalam sebuah sayembara, tapi karena ngga lolos, ya udah aku share di sini aja. Hahaha...
Sebagaimana yang kalian tahu (mungkin) di blog aku ada lumayan banyak tulisan yang menceritakan tentang Kawat Gigi, dan ini adalah tulisan atau bisa jadi episode terakhir yang aku tulis tentang Kawat Gigi.
Tulisan ini sengaja aku bikin sebagai catatan bahwa aku menerima dan memaafkan diriku sendiri sebagaimana adanya.
Jadi, jangan lupa bahagia!
___________________________________________________________________________
___________________________________________________________________________
Kawat Gigi
Sebulan
lalu pas lagi nongkrong sama teman-teman, salah satu dari mereka bertanya “May,
kamu beneran dulu pernah suka sama Kawat Gigi. Bagaimana bisa?”. Aku menjawab
sekenaku “Iyah. Hahaha, malah aku suka banget sama dia, naksir beratlah!”. Dan
membuat teman yang lain kepo, kepingin tahu siapa sih cowo itu, yang bisa bikin
aku benar-benar naksir, kepo sama si Kawat Gigi yang aku sukai itu.
“Pokoknya ada lah cowo paling ganteng di group sebelah” Jawab Kak Sholihah (bukan nama
sebenarnya, red).
“Serius ganteng?” Tanya Kak Cantik antusias.
“Kayak
siapa dong gantengnya?” Tanya Kak Manis.
“Beee,
pokoknya, ngga ada yang bisa menandingi kegantengannya dah!” Jawab Kak Sholihah
dengan penuh semangat. Lalu Kak Sholihah membuka henponya, membuka akun
instagram dan menunjukkan ke mereka berdua akun Instagram si Kawat Gigi yang
pernah aku sukai itu. Seketika mereka histeris dan menoleh ke arahku.
“MAY?
KAMU TAROH DIMANA MATAMU, HAH? NGGA SALAH? KAMU LOH CANTIK!” dan kekagetan
mereka bukan hal baru bagiku. Saat teman-teman di perkumpulan yang lain tahu aku naksir dengan Si Kawat Gigi, aku
menjadi bulan-bulanan bahan bully-an mereka. Mereka hanya ngga menyangka, Si
Kawat Gigi ini yang mereka anggap secara fisikli jauh dari ganteng
menolakku yang mereka anggap cukup cantik (padahal jelek sih) secara
mentah-mentah dan membuatku patah hati dengan sangat parah.
“DAN
HANYA KARENA DIA KAMU SAMPAI NEKAT NAIK GUNUNG?” Tanya Kak Manis ngga
percaya. Aku menggangguk sambil tersenyum malu.
“YA AMPUN, MAY!” Kata Kak Cantik yang sama-sama ngga percaya. Mereka hanya geleng-gelengkan kepala.
“YA AMPUN, MAY!” Kata Kak Cantik yang sama-sama ngga percaya. Mereka hanya geleng-gelengkan kepala.
Aku
terhenyak sejenak, mengenang kembali dua tahun lalu, saat kali pertama aku
bertemu dengan Kawat Gigi di salah satu warung kopi-yang mana saat itu aku
diajak oleh temannya sebagai gebetan. Aku ingat dia sibuk main henponnya, dia
terlihat cool dan sampai sekarang aku ngga akan lupa saat dia tersenyum kawat
gigi berwarna toscanya membuat aku jatuh cinta.
Selanjutnya
kami saling mengikuti di akun instagram dan sapaan pertamanya adalah saat aku
memosting sampul buku Arok Dedes oleh Pramoedya Ananta Toer yang sedang aku
baca.
‘’Mau
pinjem” Komentar pendek itu membuatku jatuh cinta lagi padanya. Dan jadilah
saat itu aku penggemar rahasianya dengan awal yang sederhana: kawat gigi dan
dia menyukai Pramoedya Ananta Toer juga.
Mungkin
ini terdengar konyol dan gila, selama dua tahun aku menjadi penggemarnya dan
semakin menyukai ketika tahu tetangga dia, yang mana adalah Ibu temanku bilang
“Kamu suka sama Kawat Gigi yang di sebelah rumah? Ngga apa-apa, Ibu dukung. Dia
anak baik dan rajin sembahyang jamaah ke masjid, subbuhpun rajin!” Aku semakin
dibikin terpesona olehnya. Tipe cowo soleh dan calon suami idaman. Mantap.
Apalagi
saat mengetahui dia menyukai tokoh Rahwana dan memandang Rahwana bukan sebagai
tokoh antagonist, melainkan sebagai tokoh paling romantis. Aku semakin jatuh
cinta kepadanya seperti halnya aku jatuh cinta kepada tokoh Rahwana juga. Dia
juga tahu buku dwilogi Rahvayana oleh Sujiwo Tejo. Aku semakin meleleh
dibuatnya.
Rasanya
hati adem ketika stalking social medianya dimana postingannya kebanyakan
tentang Al Hikam oleh Ibnu Athailah, kata-kata Rumi atau men-share ulang postingan
Mustofa Bisri dan Emha Ainun Nadjib atau pelajaran yang dia dapat dari pennggajian
atapun ceramah khutbah Jumat. Pokoknya postingan social medianya selalu positif
dan berfaedah. Dia suka Armandhani juga, omong-omong Aku suka dia yang suka
naik gunung. Aku suka dia yang suka jalan-jalan ke alam. Dia begitu menginspirasiku.
Dan
selama dua tahun itu aku hanya menjadi penggemar rahasianya secara diam-diam.
Dua kali aku berganti pacar, tapi hatiku ngga pernah berpaling darinya. Aku
selalu suka dia. Hingga akhirnya, mungkin aku terlihat terlalu obsesi kepadanya
dan bertingkah drama sehingga membuatnya
risih, dia memblokirku di semua social media.
Patah
hatiku sepatah-patahnya.
Aku
ingat, aku menangis selama berminggu-minggu setelahnya. Aku menangis ketika aku
sholat dan curhat kepada Tuhan: bahkan
sebelum mengungkapkan perasaan aku sudah ditolak, Tuhan. Itu sakit. Dua
tahun menjadi penggemar berat dan berakhir dengan penghindaran dan pemblokiran
di semua social media. Dia bahkan tidak memberiku kesempatan sama sekali.
Akhirnya,
di akhir minggu kelima aku memustuskan untuk mencoba melakukan apa yang dia
lakukan, dimulai dengan mencoba naik gunung. Bukannya yang sering terjadi
begitu? Kita kadang mengimitasi orang yang begitu kita sukai.
Tujuan
pertamaku adalah Ijen, Banyuwangi. Gunung yang terletak di perbatasan antara Kabupaten
Banyuwangi dan Kabupaten Bondowoso yang memiliki ketinggian 2.443 mpdl ini
sudah bulat untuk aku daki, sebuah pendakian pelarian patah hati oleh si Kawat
Gigi.
Aku
menyiapkan semua perlengkapannya. Aku berangkat dari Denpasar ke Banyuwangi dengan
menumpang mobil kantor tempat aku bekerja-yang kebetulan kantor cabang kami ada
di daerah Karetan, Banyuwangi. Jadi aku bilang ke Driver dan Staff kantor di
sana kalau aku ingin mendaki ke Ijen dan minta untuk diantarkan. Untungnya
mereka mau.
“Kamu
harus ngeliat bluefire, May. Cuma ada dua loh di dunia. Pak Ivan kemaren sudah
kesana dan rasanya luar biasa” Pak Ivan bercerita dengan antusias saat dalam
perjalanan menuju Ijen kala itu.
“Oh
Ya? Pak Ivan anterin Maya dong nanti sampai atas puncak, sampai kawahnya juga!”
Pintaku manja.
“Loh?
Ngga lah, May. Pak Ivan kan sudah pernah, yah sekarang giliran kamu yang belom
pernah!” Katanya lagi.
“Yah
Pak Ivan ngga serulah” Ucapku kecewa.
Padahal
emang dari awal niatku bukan tentang puncak ataupun demi bulefire yang hanya
ada dua di dunia itu, selain di Islandia tepatnya. Tapi tujuanku adalah untuk
mengobati patah hati, seolah-olah aku mengobati luka dengan cara mencari si Kawat
Gigi itu sendiri melalui sebuah perjalanan dan salah satu hal yang dia sukai:
mendaki!. Karena aku tahu dia pernah ke tempat ini bersama dengan teman-teman
group pecinta alamnya. Iyah, dia pernah ke tempat ini, ke Ijen setahun yang
lalu.
Di
suatu hari di bulan November 2016 itu, aku lupa tepatnya tangnggal berapa, jam
satu pagi dini hari aku memulai pendakianku dengan hati yang deg-degan, rasanya
sama seperti saat aku jatuh cinta dengan si Kawat Gigi. Aku ragu, aku takut,
tapi aku jalani.
Di
langkah pertama aku sudah lelah. Aku tak pernah mendaki sebelumnya, olah ragapun
aku suka malas. Jalan pendakian itu sudah bagus . Aku berjalan sendirian dalam
gelap yang hanya diterangi oleh headlamp di kepalaku. Aku berjalan sendirian,
tapi ngga benar-benar sendirian karena ada cukup banyak penambang balerang yang
berseliweran. Para penambang itu berjalan sangat cepat dan meninggalkanku
sendirian di belakang. Hanya ada aku: sendirian dan kelelahan.
Entah,
tapi saat itu aku ngga merasakan apapun selain lelah dan mendennggar nafasku
sendiri. Dan si Kawat Gigi sudah menjadi tidak penting lagi.
Seketika
yang muncul bukan bayanngan si Kawat Gigi lagi, tapi tiba-tiba saja aku
membayangkan Hijrah Muhammad bersama Abu Bakar di Juni tahun 622 Masehi,
berhijrah dari Mekkah ke Madinah dengan jarak tempuh 454.1 km, kalau
menggunakan bus, estimasi watu empat jam tiga puluh satu menit. Tapi saat itu
Nabi dan Abu Bakar tidak menggunakan bus, beliau menggunakan onta yang mungkin
sesekali mereka berjalan kaki dan itu semua melewati padang pasir yang bikin
gersang, bikin haus tenggorkan pastinya. Aku ngga bisa membayangkan bagaimana
lelah dan hausnya. Dan beliau rela berkorban, ngga pake mengeluh. Dalam capeku
itu seketika aku malu. Terlalu banyak mengeluh. Bahkan untuk sesuatu yang ngga
penting seperti patah hati hanya karena seseorang yang bahkan ngga naksir aku
balik sama sekali. Ngga penting sama sekali!
___
Ketika
sampai puncak dan langit masih gelap aku bingung mau apa.
“Dek,
yang lain ke bawah semua buat ngeliat bluefire. Kalau ke bawah harus pake
masker, bisa sewa dua puluh lima ribu saja” Seorang penambang menawariku. Oke,
I take it.
Dan
benar kata Pak Ivan, bahkan itu cuma bluefire saja, kalau kamu mau lihat via
tivi atau layar komputerpun bisa, tapi rasanya beda ketika langsung melihatnya,
ada rasa luar biasa oleh salah satu ciptaan Tuhan yang Maha Luar Biasa.
Sebelum
subbuh kami harus sudah sampai di atas lagi, karena bluefire akan menjadi bukan
bluefire lagi melainkan akan menjadi kawah balerang yang akan membuat udara
beracun kalau kita hirup.
Si
Kawat Gigi dan semua rasa kagumku terhadapnya seketika menghilang, seketika
semua menguap begitu saja bersama hembusan nafasku yang terasa dingin- yang
saat itu tergantikan oleh rasa kagum akan semua ciptaan Tuhan yang Maha Indah.
Dan ngga ada yang lebih indah selain melihat matahari terbit di atas puncak
gunung, rasanya seperti harapan yang membuat kita rindu oleh sesuatu yang entah
apa, mungkin itu yang disebut harapan baik kepada Tuhan.
Aku
belajar bahwa ketika aku kagum dan suka dengan si Kawat Gigi hingga semua hal tentang
dia memenuhi hatiku, itu seperti membuatku ngga punya ruang untuk diri aku
sendiri, aku bengah! Apalagi saat mengetahui bahwa dia bahkan ngga mau ada
disana, di hatiku.
Berbeda
ketika aku dibuat kagum dan jatuh cinta kepada Tuhan, jatuh cinta akan ciptaanNya,
alam misalnya, keindahan memenuhi hatiku, hatiku rasanya ingin meledak, meledak
dengan keluar biasaanNya, seperti kembang api tahun baru, memunculkan sebuah
emosi yang ekstasi.
Dan
di akhir perjalananku: dari rumah sampai Puncak Ijen dan turun ke kawahnya
untuk melihat bulefire, naik ke puncak lagi kemudian kembali pulang ke rumah,
aku benar-benar mendapat me time merenungkan semuanya. Aku merasa aku tidak
lagi menjadi orang yang sama dengan sebelumnya, orang yang sebelum menjejakkan
kaki di puncak Ijen. Aku sudah melalui hal yang awalnya aku ragu untuk
melakukannya. Jujur sebenarnya aku takut dengan gunung, aku takut dengan alam,
aku hanya anak rumahan biasa yang menyukai dan suka menghabiskan waktu dengan
tidur di kamar sambil membaca novel romansa Dan hanya demi patah hatiku karena
Si Kawat gigi aku rela meninggallkan zona nyamanku.
Semuanya
terasa konyol dan lucu yang membuat sebagian besar teman-temanku heran dan
cukup histeris “MAY, SERIUS DULU KAMU SAMPE PERNAH SEGITUNYA?”
Ya,
tapi semua berawal memang dari sana, cerita awal dan sebab aku mulai jatuh
cinta terhadap Tuhan, terhadap salah satu ciptaanNya: alam dan semesta, dan
masih berlanjut sampai sekarang. Mengumpulkan dan merangkai mimpi-mimpi: ingin
melihat lebih banyak keindahan alam yang Tuhan telah ciptakan. Ada rasa yang ngga
bisa dijelaskan oleh kata ketika hati dibikin takjum oleh CiptaanNya yang emang
luar biasa indahnya.
Dan
nikmat Tuhan manakah yang engkau dustai?
___
Kawat
Gigi, dalam perjalan mencarimu aku menemukan diriku sendiri. Terima kasih telah
pernah menjadi alasanku untuk mendaki, hingga menjadi tahu bahwa ciptaan Tuhan
itu indah dan membuat belajar bahwa banyak hal yang harus aku syukuri, termasuk
Dia yang sudah pernah bikin aku jatuh cinta sama kamu, seseorang yang
teman-teman bilang wajahmu ngga indah sama sekali, dan membuat aku merasa lucu
bahwa dulu aku jatuh cinta sama kamu hanya karena melihat kamu tersenyum dan gigimu terlihat
imut dipageri.
Tuhan emang suka selucu itu.
_____________________________________________________________________
_____________________________________________________________________
Dan bonus, ini salah satu gambar saat di puncak Ijen. Saat itu musim penghujan, jadi cuaca cukup berkabut. Dan omong-omong, makasih sudah baca curhatan sampah ini. Jangan lupa tinggalkan komentar yah, atau bisa share tentang pengalaman kalian dalam menerima dan memaafkan diri sendiri! :)
7 komentar
Duh iley, jatuh cinta dan akhirnya terjatuh dalam kepatahan hati. Oh kawat gigi, kenapa kau tidak mampu memagari hatiku :D, kau egois, kau hanya melindungi gigi orang lain tapi tidak mampu merapatkan hati dua ingsan.
BalasHapusAh soal kawat gigi, saya merasa geli, bayangin kalau mau ciuman gimana gitu ,pasti ada yang mengganjal dan mengganggu keharmonisan. Batal deh, ciuamannya :)
Panjang juga ceritanya hahahahah. Tetap saja tiap cerita itu ada pesan yang sampaikan, terlepas itu kisah nyata atau bukan.
BalasHapusYang terpenting sekarang adlah, bagaimana kita terus menulis apapun perjalanan diri kita :-)
Kalau udah urusan hati, emang susah pakai logika, kan? Ya, kalau ada yang komentar sampai segitunya. Cuekin aja. Kadang jatuh cinta emang bisa bikin senekat itu.
BalasHapusToh, akhirnya ada hikmah yang bisa lu ambil. Melakukan perjalanan ke luar, padahal tadinya cuma anak rumahan yang hobi baca novel romansa. Berani mendaki dan jadi bisa melihat ciptaan Tuhan yang indah, yakni bluefire. Selamat~ :)
Ohh kawat gigi....
BalasHapuskemarilah....
hihihiy...
urusan suka alias urusan hati emang repot yak?
BTW, perjalanan hidupmu asyik juga nih...
kayak sinetron gitu...
hahahaa....
salam kenal neng :)
Wah mba seru.saya jadi baca berulang ulang. apa lagi soal kawat gigi yang setiap hari saya lihat di klinik aku. ternyata mba kreative bisa buatkan cerita.
BalasHapusApakah kawat gigi itu adalah saya? eeh :D :D :D
BalasHapusBisa mendaki guning itu keren sekali mbak, apapun alasannya. Saya sejak sekolah dulu pengen sekali mendaki tapi sampai setua ini belum kesampaian juga :(
BalasHapusItu namanya pelarian dari patah hati yang positif dan sehat mbak. Ya udah lupakan saja ya belum jodoh tuh :)