Membaca Orang-Orang Oetimu: Melihat Indonesia dalam Menanggapi Kasus Kekerasan Seksual

By mayasithaarifin.blogspot.com - Minggu, Januari 12, 2020


Buku pertama yang says selesaikan di 2020.

Membaca Orang-Orang Oetimu karya Felix melihat Indonesia dalam menanggapi kasus kekerasan seksual dalam scene Linus. Betapa minimnya seks edukasi dan kesadaran kekerasan seksual kita dalam pemahaman yang mana hubungan seksual yang konsen dan yang tidak konsen. Dalam cerita tersebut pola Linus mirip dengan pola Reyhard Sinaga dalam menjalani aksinya, menggunakan obat bius sehingga korban tidak sadar dan bisa dieksploitasi secara seksual. Saya membaca berita RS, bagaimana RS mengatakan itu bukan pemerkosaan melainkan tindakan didasarkan atas dasar suka sama suka saat persidangan. Pengadilan di Inggris sangat bijak dalam menanganinya dan dalam melindungi korban secara totalitas, tidak percaya begitu saja dan melakukan penyelidikan serta mencari bukti-bukti terkait, bagaimana mereka paham bahwa itu bukanlah hubungan konsensual karena di salah satu videonya salah satu korban sedang tidur ngorok. Orang tidur tidak sadar, apalagi tidur karena obat bius. Sampai akhirnya ditemukan bukti bahwa RS menggunakan GBH untuk melakukan aksinya. Dalam scene Linus, saat korban melaporkan kekerasan seksual yang dialaminya, yang dilakukan polisi bukannya fokus terhadap laporan korban, melindunginya, dan menyelidiki kasus tersebut, yang dilakukan justeru memverifikasinya dengan memanggil Linus dan menanyakan hal tersebut, dengan santai Linus menjawab seperti yang RS katakan suka sama suka, karena vagina si korban basah dengan mengatakan "Dua menit sesudah saya goyang, dia juga ikut goyang, Pak. Bahkan dia juga mendesah bla bla". Lalu orang-orang menertawakan si perempuan dan tidak diberi kesempatan untuk menjawab lagi. Polisi lebih percaya Linus dan mengira korban mengada-mengada. Padahal dalam keadaan tidak sadarpun, vagina memang bisa basah saat mendapat rangsangan/sentuhan. Ini respon alami Tubuh. Hal ini juga bahkan bisa terjadi pun saat tidak melakukan kegiatan yang berbau sensual. Akhirnya dalam scene Linus, tidak ada lagi korban yang mau melapor karena takut dan malu. Sangat menyedihkan sekali. Dalam data KOMNAS 2019 menunjukkan angka kekerasan terhadap perempuan meningkat 14% yaitu sejumlah 406.178 kasus dari tahun sebelumnya. Data tersebut dihimpun dari tiga sumber yakni Pengadilan Negeri (PN) dan Pengadilan Agama (PA), lembaga layanan mitra komnas perempuan, dan Unit Pelayanan Rujukan (UPR). Dalam Catahu Komnas Perempuan memetakan jenis-jenis kekerasan seksual yang dilaporkan oleh korban yakni pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan penggunaan kontrasepsi, pemaksaan melakukan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual. Itu semua baru yang terlapor, bagaimana yang tidak, seperti korban-korban dalam cerita Linus disebabkan karena takut dan malu? Bisa jadi sangat banyak sekali.


Berkaca pada kasus Ibu Baiq Nuril tahun lalu yang melaporkan kekerasan seksual yang dialaminya-yang berakhir Ibu Baiq Nuril bukannya dilindungi dan didampingi karena terluka secara psikis pastinya, malah dilaporkan balik dengan pasal UU ITE dan dijerat hukuman dan denda sebesar 500juta rupiah oleh tersangka. Walaupun pada akhirnya "Orang Baik" memberikan amnesty kepada Ibu Baiq, tapi proses yang sangat alot dan lama dalam mendapatkannya itu tidak seharusnya terjadi. Hal ini menambah daftar alasan korban takut untuk melapor. Kemarin saya bertemu dengan teman saya, Angga dan mendiskusikan hal ini, wondering if RS'case ini terjadi di Indonesia, bisa jadì dia tidak akan mendapatkan hukuman yang sepantasnya atau malah kasusnya tidak terungkap sama sekali, selain ortunya kaya raya dan penting dan tentu saja punya priviles, bisa jadi (juga) para korbannya akan mengalami hal seperti cerita para korban Linus dalam novel Orang-Orang Oetimu: takut dan malu, apalagi di Indonesia LGBTQ masih dianggap aib dan tabu, mau lapor, malunya berkuadrat-kuadrat.

Membaca Orang-Orang Oetimu dalam scene Linus ataupun Pastor Yosef membuat saya sadar dan merasa, kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia adalah dosa kolektif masyarakat Indonesia terhadap para korban. Secara tidak langsung kitalah yang menyebabkan para korban merasa takut dan malu karena mereka adalah korban, dan mendapatkan keadilan bukanlah sesuatu yang pantas mereka terima. Tanpa sadar, sebenarnya kitalah yang merawat kekerasan seksual selalu ada, kita merawat para penjahat seksual untuk melakukan kekerasan seksual lagi dan lagi, berulang-ulang. Kita memberi mereka rasa aman untuk melakukan kejahatan dan kekerasan seksual itu dengan ketidakpahaman kita terhadap seksual itu sendiri dan tidak mendidik diri kita secara benar dalam memahami seksual kita sendiri, dengan ketidak pahaman kita terhadap anggota tubuh kita sendiri, dengan keengganan kita belajar dan mengedukasi diri kita sendiri, dengan tidak kritis terhadap framing pelaku yang membuat salah baju,  vagina basah dsb ataupun dengan larut dan merawat pendidikan seksual adalah sesuatu yang tabu.  Mengutip satu quote dalam 1984 karya George Orwell "Kebodohan adalah Kekuatan"... yah, kebodohan kita dalam hal kesadaran seksual adalah kekuatan para penjahat seksual. 

Attachment: Photo, saya ss dari jurnal komnas yang bisa diakses melalui website komnas. Untuk lebih lengkapnya mengenai catatan kekerasan terhadap perempuan, dapat dibaca disini https://drive.google.com/file/d/1bTkH4T8YyJ9qmA88Nkeu9-BuWpiiiaTe/view?usp=sharing

  • Share:

You Might Also Like

1 komentar