Gajah

By mayasithaarifin.blogspot.com - Senin, November 09, 2020

 Catatan 1 November 2020


Perasaan tidak sedih saat Bapak sakit membuat saya tertekan. Akhirnya saya konseling. Seperti biasa dokter menyarankan saya untuk lebih sering menulis. Terlihat sepele, tapi menulis adalah hal yang sulit, belum lagi saya takut kalau tulisan saya nantinya akan buruk sekali, karena saya tahu, tulisan yang buruknya keterlaluan bekerja di dalam pikiran seperti trauma bekerja. Tapi saya harus menulis selain harus lebih sering lagi memeluk diri saya sendiri, melakukan sebuah teknik yang disebut dengan Butterfly Hug. Ini bukan hal mudah. Tentu saja ini bukan hal mudah.

Saya jadi ingat tokoh Mersault dalam cerita L’Étranger karya Albert Camus tahun 1942. Dia dihukum mati bukan karena menembak seorang pria sebanyak empat kali, melainkan dia dihukum mati karena dia tidak sedih saat ibunya meninggal. Dan dalam cerita tersebut Mersault menerima hukuman mati itu dengan bahagia. Dia tidak perlu bunuh diri. Lega sekali.

Ekspetasi kebanyakan orang seharusnya saya sedih saat Bapak sakit, tapi nyatanya saya tidak sedih. Beberapa orang dekat saya bilang "Saya yang orang lain saja sedih loh liat Bapak sakit". Saya merasa seperti tokoh Mersault: di pengadilan, diam, mendengarkan jaksa penuntut mengoceh mengatakan bahwa Mersault pembunuh berdarah dingin, bla bla bla, pandangan masyarakat yang mengiyakan, sebelum akhirnya sang hakim memutuskan hukuman mati. Seandainya saya dihukum mati seperti dalam cerita, barangkali saya akan sama leganya seperti Mersault, tapi kenyataan memang kadang tak semudah cerita dalam novel.

Kemarin, saat giliran menjaga Bapak sendirian di rumah sakit semalaman suntuk, saya banyak merenung. Saya tiduran di lantai di sudut lorong bangsal. Saat itu sepi sekali, gelap, banyak nyamuk, cukup dingin, terdengar bunyi dari alat Patient Monitor, sesekali ada suara teriakan pasien sedang sekarat, terasa akrab sekali. Saya kenal baik dengan perasaan ini: perasaan putus asa dan kesepian. Saya pernah mengalami hal ini sebelumnya, bahkan jauh lebih buruk: tidak ada kucing yang menunggu saya, tidak ada buku bagus di kamar saya, tidak ada Netflix, tidak ada teman dengan support system yang baik, tidak ada pekerjaan yang menghasilkan uang, tidak konseling, tidak ada keponakan yang meminta saya menemani latihan menari supaya tidak bosan, dan lain sebagainya. Waktu itu ibu saya sakit, dirawat di rumah sakit selama berbulan-bulan. Saya masih sangat kecil. Ibu saya tidak pernah sembuh setelahnya, tapi penyakitnya sudah diselesaikan dengan baik... oleh kematian. Saya melanjutkan hidup, saya tahu semua hal itu membuat saya lebih kuat.

Dokter bilang saya harus menulis. Tulisan saya harus berisikan dengan pengakuan-pengakuan. Saya melakukannya. Saya sekarang menulis. Saya mengakui saya tidak sedih Bapak sakit parah dan tidak pernah menyesal untuk itu. Ada banyak hal kenapa saya tidak sedih. Saya tidak pernah dendam atas memori-memori buruk. Saya sudah lama memaafkan semua hal. Bukan karena beliau bapak saya, tapi karena saya peduli dengan diri saya sendiri. Saya tidak sedih karena kebetulan saja saya lebih kuat, walaupun tetap putus asa dan kesepian. Dan dalam keputus-asaan itu saya memilih cara bunuh diri paling buruk, yakni dengan bertahan hidup.
---
Salah satu memori bagus dalam hidup saya, foto dengan seekor gajah yang seumuran dengan saya, dua puluh tujuh tahun. Seperti halnya si gajah, kami sama-sama mengingat dan mencatat dengan baik memori-memori penting yang terjadi dalam hidup kami, baik memori baik ataupun memori buruk.



  • Share:

You Might Also Like

0 komentar